Memburu Makna Kesalahan Agama Wilfred C. Smith

Memburu Kesalahan Makna Agama Wilfred C. Smith[1]
Oleh: Suhanto[2]

Pendahuluan
Kemunculan pluralisme agama di Barat pada abad 20 bertitik tolak dari pertumpahan darah yang banyak berlaku di dunia adalah akibat sikap eksklusif dalam mengklaim kebenaran. Penganut agama Nasrari dan Agama Yahudi telah bersikap eksklusif dan dogmatic dalam mengklaim kebenaran tanpa berhasil membuktikan kebenaran atas klaimnya. Sehingga menimbulkan ketegangan diantara penganut agama yang berbeda antara Kristian-katholik, Protestan-Morman, Islam  dan Barat. Berasal dari sini para pemikir ahli teologi Barat bahwa faham pluralism agama menjadi jalan keluar intoleran beragama.[3]
Secara khusus kita akan mempersoalkan faham pluralisme agama dalam wacana keagamaan dan bukan pluralisme dalam hal-hal yang lain. Perbedaan antara agama dan yang bukan agama adalah penting untuk tidak menyamakan sesuatu yang sebenarnya berbeda. dan para orientalis justru berkeinginan menyamakan perbedaan-perbedaan mendasar tentang agama.
 Salah satu tokoh yang mensekulerkan agama adalah Wilfred Cantwell Smith melalui teologi rasional dan historisme sehingga timbulnya faham pluralisme agama. Agama adalah istilah yang semakin hari semakin usang dan miskin. Sebagai definisi atau istilah, agama tak mampu mewadahi berbagai kekayaan hidup iman, keluasan penghayatan tradisi, ketransedenan pengalaman dengan Tuhan, serta keberagamaan hidup agama sendiri. Pemikiran W.C. Smith telah merevolusi studi tentang agama dan seorang sarjana terkemuka yang mengupayakan titik temu di antara tradisi-tradisi keagamaan yang beragam.

Pembahasan
Wilfred Cantwell Smith adalah salah satu sosok seorang tokoh orientalis yang dilahirkan di kota Toronto salah satu propinsi di Canada pada tanggal 21 Juli 1916. Kedua orang tua Smith adalah Arnold Smith dan  Sarah Cory Cantwell. Smith meninggal saat berumur 84 bertepatan pada tanggal 7 Februari 2000. Dia meninggalkan seorang istri serta lima anak dan sepuluh cucu. Anak-anaknya: Arnold (Ottawa), Julian (Appleton, Ontario), Heather (Toronto), Brian (Bloomington, Indiana dan La Honda, California), dan Rosemary (Montreal).
Smith  adalah seorang ahli  studi-studi agama. Dan Pengaruhnya luar biasa terhadap pluralisme agama. Smith adalah seorang sejarawan agama yang memiliki pengalaman langsung dengan berbagai macam agama. Ia adalah seorang profesor dalam perbandingan agama di Universitas Harvard USA. Setelah mendapat gelar Ph.D. di Universitas Princeton, kemudian Smith mendirikan Institute Studi Islam  di Universitas McGill pada tahun 1949-1951. Pada tahun 1964 Smith menjadi direktur Harvard University’s Center for the Study of World Religions. Membuka program study agama-agama di Dalhousie university, Halifax, dan bekerja untuk Contre the study of Religion di Universitas of Toronto.
Pada awal karirnya itu, ia mendirikan Institut Studi Islam  khas di Mc Gill, tempat ia mengajar 1949-1963. Ia terlibat dalam perencanaan Pusat Studi Agama-Agama Dunia di Harvard University, dan pindah ke sana pada tahun 1964 untuk mengambil direktur perusahaan. Pada tahun 1973 ia pindah ke Halifax, Nova Scotia untuk mendirikan Departemen Perbandingan Agama di Dalhousie University, kembali ke Harvard pada tahun 1978 untuk mengawasi pengembangan program dalam agama dalam fakultas seni dan ilmu. Harvard mengangkatnya Profesor Emeritus Kajian Perbandingan Agama pada saat pensiun pada tahun 1984. Setelah kembali ke kota asalnya pada tahun 1985, ia diangkat sebagai Senior Research Associate ke Fakultas Teologi di Trinity College, Universitas Toronto.
Wilfred Cantwell Smith adalah salah satu tokoh terkenal yang memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology, Smith adalah pendiri Mc Gill Islam is Studies. Karya-karya Smith antara lain: The Muslim League, Pakistan as an Islam ic State: Preliminary Draft,  Islam  in Modern History: The tension between Faith and History in the Islam ic World,  The Meaning and End of Religion,Modern Islam  in India: A Social Analysis  The Faith of Other Men, Questions of Religious Truth, Religious Diversity: Essays, Belief and History, On Understanding Islam : Selected Studies,Toward a World Theology: Faith and the Comparative History of Religion,Scripture: Issues as Seen by a Comparative Religionist, Towards a World Theology: Faith and the Comparative History of Religion, What Is Scripture? A Comparative Approach, Patterns of Faith Around the World.
      Karya Smith telah memiliki dampak yang mendalam di seluruh dunia, semua ini terbukti melalui tulisan, pengajarannya juga melalui berbagai program akademik dan departemen-departemen. Sayangnya  di Indonesia pemikirannya diadopsi oleh beberapa tokoh seperti Nurkholis Majid, Mukti Ali, Abdul Munir Mulkhan, dll.
Smith adalah orientalis kebangsaan Kanada pakar perbandingan agama-agama di dunia. Melalui buku-buku yang dikarang  menyebar di seluruh penjuru dunia sebagai rujukan berbagai tokoh menjadi virus bagi agama-agama di dunia. Pernyataan Smith mengusik keberadaan agama, terutama Islam  yang memilki kemapanan dalam konsep teologi, ritus, nama Tuhan, Nabi sang teladan.
Smith dalam bukunya The Meaning and End of Religion yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Memburu Makna Agama mengatakan Istilah agama (religi) sulit didefinisikan. Banyak kasus-kasus kegagalan yang berulang untuk bersepakat mencapai jawaban yang memuaskan dan mencapai satu titik kesepakatan atau bahkan untuk memperoleh kemajuan kearah satu jawaban ternyata pertanyaan yang selama ini diajukan adalah salah. Ketidakmampuan yang berkepanjangan untuk menjernihkan makna agama mengisyaratkan bahwa istilah itu seharusnya disisihkan, bahwa itu adalah konsep yang terdistorsi dan tidak sungguh-sungguh terkait dengan sesuatu yang tegas serta pasti atau khas dalam dunia objektif. Walaupun fenomena yang disebut religius memang ada.[4]   
Secara historys Smith membeberkan makna-makna religi yang satu sama lain belum memiliki kesepakatan makna kemudian istilah agama sendiri harus disisihkan. Beberapa makna agama yang diungkapkan Smith antara lain, Sebelum abad Masehi Lucretius di Romawi memberikan istilah agama sebagai semacam makhluk langit yang menatap sengit dan garang pada umat manusia.[5] Cicero memaknai agama adalah sesuatu yang ada dalam hati manusia.[6] Kristiani dengan konsep barunya religi adalah”iman” (faith).[7] Religion dalam bahasa inggris , menurut Oxford Dictionary, adalah suatu status kehidupan yang terikat pada ikrar kehidupan membiarai. Sedangkan Katholik roma memaknai suatu ordo atau aturan religius atau kebiaraan tertentu.[8] Menurut sumber tradisi religius Barat, Alkitab (the Bible) dalam perjanjian lama bersih dari kata dan konsep religi. Frasa “takut pada Tuhan sang Junjungan” paling mendekati pengertian tentang kesalehan personal. Dalam Perjanjian Baru, adalah Iman.[9] Para sarjana Modern mengartikan istilah agama ialah merujuk pada suatu kuasa di luar manusia yang mewajibkan manusia melaksanakan perilaku di bawah ancaman saksi yang berat tak tertahankan, semacam tabu atau mengacu pada perasaan manusia dalam berhadapan dengan kuasa-kuasa macam itu.[10] Dalam Islam  Kata “din” merupakan padanan kata yang cukup dekat dengan “religi” Barat. Kata ini mengandung makna suatu religi personal tidak pernah mengandung makna sistematika atau komunitas dan tidak dapat dijadikan bentuk jamak.[11]
Keinginan Smith untuk melakukan definisi ulang terhadap istilah ‘agama’ juga tidak terlepas dari beban sejarah dan pisikologi yang harus ditanggungnya sebagai bagian dari peradaban Barat. Smith benar bahwa sampai sekarang tidak ada satu definisi tunggal mengenai ‘agama’ yang dapat di jadikan rujukan dalam tradisi intelektual Barat. Dalam “The Encyclopedia of Philosophy”, misalnya menurunkan paling sedikit sembilan definisi agama. Kesemua definisi ini adakalanya hanya secara parsial mengungkap hakikat sebenar agama ataupun terjadi kontradiksi diantara mereka. Inilah yang membuat Smith frustasi sehingga dia menyarankan agar terma ini dibuang saja. Kenyataan yang dialami Smith inilah yang ia diaplikasikan kepada Islam.[12]
Prof Al-Atas dalam buku Islam  dan Sekularisme mengkritik makna Religion (Perancis Kuno), religio (Latin), Religioun (Inggris), secara samar-samar merujuk kepada “ikatan manusia dengan Tuhan-Tuhan”. Religi tidak banyak memberikan penjelasan tentang makna agama sebagai aspek nyata dan mendasar dalam kehidupan  manusia. Konsep ‘ikatan’ antara manusia dan Tuhan tidak jelas menjadi kabur dan membingungkan jika diterapkan pada Tuhan Semesta Alama yang sejati. Kesepakatan umum dikalangan manusia, bahwa konsep agama berkaitan dengan suatu ikatan, tetapi hal ini tidak diterangkan secara jelas dalam agama-agama lain, dan tidak ada kitab yang diwahyukan bagi Ahlul Bait yang menyebut tentang perjanjian yang mendasar dan asal anatara manusia dengan Tuhannya.[13]
Konsep yang terkandung dalam istilah din, sesungguhnya tidak sama dengan konsep agama yang dipahami dan ditafsirkan dalam konteks sejarah keagamaan di Barat seperti yang diungkapkan Smith. Prof Al-Atas menegaskan bahwa hanya Islam  saja yang benar-benar agama tanzil, bukan agama hasil perkembangan sejarah, dengan kata lain Islam  bukan agama budaya. Beliau juga menegaskan bahwa kata kunci yang sangat penting bagi memahami Islam  bukan hanya berserah diri, tetapi kepatuhan yang benar yang terekam dalam perkataan din. Berserah diri kepada Tuhan tidak cukup jika tidak diikuti dengan kepada Tuhan yang dikehendaki oleh Allah dan Rosul-Nya. Dalam Islam lah makna yang terangkum dalam din menjelma menjadi din atau agama.[14] Bertentangan dengan apa yang diutarakan Smith, Al-Atas menegaskan bahwa agama Islam  telah sempurna sejak dari awal dan tidak berkembang seperti agama lain.
Prof. Hamka dalam tafsir Al-Azar menjelaskan makna agama, hakekat agama hanyalah satu, yaitu menyerahkan diri kepada Allah Yang Maha Esa, persatuan manusia di dalam pokok kepercayaan. Dan memandang bahwa tujuan segala rasul Allah hanyalah satu, membawa manusia dari gelab gulita syirik kepada sinar tauhid. [15]
Bagi Smith agama adalah tidak lain dari tumpukan tradisi (cumulative tradition). Perkataan religion sendiri menurutnya adalah hasil perdebatan identity politik (politik pengenalan diri) oleh karenanya agama adalah istilah yang baru yang dicipta oleh bangsa Eropa pada zaman modern. Dia juga menegaskan bahwa agama adalah sesuatu yang memiliki banyak bentuk, senantiasa berkembang, dan mengalami proses perubahan berkembang. Dalam bukunya Faith and Belief , Smith menegaskan bahwa semua agama adalah hasil pembentukan  konteks sejarah dan budaya yang berlainan, masing-masing boleh meyakininya sebagai asli akan tetapi ia adalah kefahaman tentang Tuhan yang tidak sempurna.[16]
Pernyataan Smith diatas menyamakan antara agama dan budaya, sejatinya budaya  berbeda dengan agama. Budaya sebagai keseluruhan tindakan manusia dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan, didapat dengan belajar tersusun dakam kehidupan masyarakat.[17] Sedangkan agama adalah wahyu dari Tuhan. Seperti pernyataan Buya HAMKA  seorang ulama dan budayawan Indonesia yang mengarang tafsif Al-Azhar, dalam seminar kebudayaan nasional tanggal 29 Mei 1960 di Semarang mengatakan:
“Dengan sebab itu pula dapatlah kita memahami mengapa orang-orang yang berpandangan hidup “Agama” tidak dapat menerima, kalau agama dimasukkan ke dalam kebudayaan. Sebab agama menurut kepercayaan kaum agama adalah “wahyu” yang datang dari Tuhan, bukan hasil kegiatan manusia.”[18]

Smith menegaskan Islam  pada awalnya bukanlah suatu sistem kepercayaan yang lengkap, ia hanya berkembang kemudian menjadi suatu agama tersendiri. Tepatnya pada abad pertengahan ketika orang Islam  menulis buku-buku yang meletakkan Islam  sebagai agama resmi, hal yang tidak pernah berlaku pada zaman-zaman terdahulu. Smith mengatakan meskipun kata Islam  telah wujud dalam al-quran sejak awal kemunculannya, namun ia hanya dipahami sebagai kata kerja atau masdar yang berarti menyerah, atau pasrah kepada Tuhan. Dan bukan suatu sistem kepercayaan, hanya nama suatu tindakan, bukan institusi, nama suatu keputusan personal, bukan sistem sosial  dengan nama khas bagi suatu agama sebagaimana yang dikenal hari ini. Kemunculan kata Islam  tercatat sebanyak 8 kali dalam al-quran, sedangkan kata iman 45 kali. Begitu pula dengan kata yang berkaitan dengan mu’min (orang beriman) lebih banyak lima kali dari kata muslim. Berdasarkan kefahaman ini orang Kristian dan Yahudi  adalah muslim karena telah berserah diri dengan beriman kepada Allah. Smith mengatakan:
” jika kita cermat memerhatikan Al-Quran, kita temukan, pertama-tama, bahwa Islam  di situ relative sangat kurang sering digunakan daripada istilah-istilah lain yang berhubungan tetapi sifatnya lebih dinamis dan personal. Keduanya, bahwa ketika istilah itu digunakan ia dapat, dan dengan banyak alasan nyaris harus, ditafsirkan bukan sebagai nama sistem religi melainkan sebagai penamaan tindak personal yang sangat menentukan…..istilah dan konsep besarnya adalah “Iman” (oleh sebab itu, orang menjadi ingat Pada Perjanjian Baru, dan pada karya tulis Kristiani Klasik pada Abad Pertengahan). Kata Islam  muncul delapan kali dalam Al-Quran, kata Iman tampil 45 kali.  Begitu pula dengan kata yang berkaitan dengan mu’min (orang beriman) lebih banyak lima kali dari kata muslim…..Islam  adalah kata benda verbal (masdhar-peny).,yang muncul sepertiga dari dari jumlah kemunculan kata kerja dasarnya,yaitu aslama (menyerah, memasrahkan diri sepenuhnya, memberikan diri dalam kaitan tuntas).”[19]….kata ini (Islam ) adalah kata-benda verbal hanya nama suatu tindakan, bukan institusi, nama suatu keputusan personal, bukan sistem sosial.”[20]
Dalam menjawab kekeliruan Smith yang memandang Islam  bukan sebagai institusi atau sistem religi (agama), ustadz Adian Husaini menjelaskan dalam bukunya 10 Kuliah Agama Islam  istilah Islam  secara bahasa “pasrah”. Pasrah kepada Allah SWT dengan cara menurut Islam  sesuai dengan yang diajarkan oleh utusan Allah Swt, yaitu Nabi Muhammad Saw. Upaya dekonstruksi atau reduksi makna dan konsep Islam  sebagai nama agama  atau suatu sistem agama pasti akan mengalami kegagalan. Nama Islam  tidak bisa digoyahkan atau digantikan dengan kata lain. Islam  adalah satu-satunya agama yang masih satu, Tuhan satu dan Ibadah Satu. Islam  adalah agama wahyu yang final, memiliki ajaran-ajaran yang bersifat final, yang tidak tunduk oleh perubahan jaman, pergantian tempat dan budaya. Islam  mempunyai teladan yang abadi yaitu nabi Muhammad Saw dan memiliki konsep teologi serta nama Tuhan.[21]
Nabi Muhammad Saw sendiri pernah menggambarkan makna Islam  dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Nawawi dalam kitab haditsnya, al-arbain an-Nawawiyah, menyebutkan definisinya pada hadis kedua:
“Islam  adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan sholat, menunaikan zakat, melaksanakan saum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah jika engkau berkemampuan melaksanakannya.” (H.R. Muslim).
Sedangkan Prof. HAMKA menjelaskan bahwa kaum muslim mempercayai sedalam-dalamnya yang tidak bisa dipisahkan dengan itikad kita bahwa agama yang diajarkan Nabi Isa al-Masih tidak lain adalah agama Islam . Sebagaiman yang dijelaskan ayat ini (Al-Imron ayat 19) penyerahan diri yang timbul dari ilmu keinsafan kepada Allah, lalu dirumuskan menjadi la ilaha illa Allah ‘tiada Tuhan selain Allah’ dan Isa Rosulullah. Asasnya ialah Tauhid. Akan tetapi karena pengaruh raja-raja penguasa terhadap kaum pendeta  bagi kepentingan politik dan kekuasaan, maka dibentuklah kepercayaan menurut kehendak mereka.[22]
Puncak spirual seseorang menurut Smith adalah tindakan personal. Kata agama, konsep-konsep agama, makna agama harus dibuang kecuali makna personalitas. Istilah agama dianggap membingungkan dan menghambat kemajuan pemahaman untuk mengakui keberagaman berbagai agama bukan hanya agama yang dianut dianut. Smith menjelaskan:
“Usulan saya adalah agar kata ini, dan konsep-konsepnya, dibuang saja-…kecuali makna pertama personalitas itu. Istilah “religi” membingungkan tidak perlu, menyebabkan distorsi.[23] Komunitas-komunitas religius (sistem agama) amatlah penting, akan tetapi komunitas religius bukanlah titik akhir baik secara historis maupun konseptual. Religius bisa tunduk oleh perubahan jaman, pergantian tempat dan budaya. Menjadi seorang yang religius puncak spiritualnya adalah tindakan personal yang menuntut  iman menuju persaudaraan yang lebih luas, kebinekaan tradisi religius daripada persaudaraan berdasarkan religi yang dianut.” [24]
Kebingungan Smith terhadap istilah religi yang beragam tanpa ada satu kesepakatan menolak istilah tersebut dan membuang dari kamus bahasa. Agama-agama yang ada akan diganti dengan tindakan personal, keimanan seseorang yang bukan berdasarkan pada salah satu agama akan tetapi menuju pengakuan keberagaman iman  personal dan semua itu benar. Smith dengan konsep-konsepnya berupaya menyamakan persamaan iman Islam  dan “iman”  personalitas. Keduanya memiliki latar belakang yang berbeda dan pemakanaan yang berbeda pula. Smith mengartikan iman dengan sesuatu yang tidak dapat didefinisikan, urusan personal, dan terlalu ilahi untuk diterjemahkan kepada orang banyak.
“iman tidak dapat didefinisikan atau diverbalkan setepat-tepatnya, bahwa iman adalah sesuatau yang terlalu mendalam, terlalu personal, dan terlalu ilahi untuk dijabarkan secara terbuka kepada orang banyak. ….bahwa iman manusia berada diluar sektor kehidupan religiusnya…”[25]
Selain itu Smith juga menyamakan iman Islam  dan iman Kristian-Yahudi berdasarkan kefahaman ini orang Kristian dan Yahudi juga muslim karena telah berserah diri dengan beriman kepada Allah. Smith berpandangan ketiga agama ini pada dasarnya mempercayai Tuhan yang sama, maka kesemuanya adalah orang muslim.[26]
“Menurut sumber tradisi religius Barat, Alkitab (the Bible) dalam perjanjian lama bersih dari kata dan konsep religi. Frasa “takut pada Tuhan sang Junjungan” paling mendekati pengertian tentang kesalehan personal. Dalam Perjanjian Baru, adalah Iman.[27]. kata iman dan Islam, kata pertama adalah istilah personal dan aktif.[28]
Konsep iman Islam dan iman Kristian-Yahudi tidak dapat disamakan walaupun keduanya memiliki arti sama yaitu percaya. Iman menurut Islam adalah dalam arti khusus arkanul iman, rukun iman yang enam.[29] Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Rosul, Hari akhir dan Qoda’ dan Qodar. Iman kepada Allah antara Islam dan Kristian –Yahudi berbeda, Islam hanya menyembah kepada satu Tuhan yang jelas namanya, kedudukan-Nya, kekuasaan-Nya, tidak beranak dan diperanakan. Sedangkan Kristian mengenal konsep Trinitas, ada Tuhan Bapak, Roh Kudus, dan Yesus, sedangkan Yahudi mengenal Tuhannya dengan YHWH. Dari konsep Tuhan saja terdapat perbedaan yang mencolok, jadi konsep semua orang yang “beriman” adalah muslim tidaklah tepat. Muslim hanya kushus untuk umat yang beriman sesuai ajaran agama Islam.

Kesimpulan
W.C Smith adalah salah satu  orientalis kebangsaan kanada yang dikenal sebagai Pakar studi agama-agama di dunia. Dia mencoba memberikan definisi  agama dari  zaman Romawi sampai agama Islam. Ketidaksamaan istilah  agama (religi) membuat Smith menentang keras agama. Smith mencoba menghapus kata agama, konsep-konsep agama kecuali makna personalitas, karena dianggap tidak memiliki definisi yang jelas dan justru membuat kebingungan.
Kebingungan Smith  terhadap menurunkan paling sedikit sembilan definisi agama. Kesemua definisi ini adakalanya hanya secara parsial mengungkap hakikat sebenar agama ataupun terjadi kontradiksi diantara mereka. Inilah yang membuat Smith frustasi sehingga dia menyarankan agar terma ini dibuang saja. Kenyataan yang dialami Smith inilah yang ia diaplikasikan kepada Islam. Padahal Islam sudah memiliki definisi makna, nama, uswatun hasanah dan konsep yang jelas,  berbeda dengan agama-agama  lain didunia. Memamg begitulah tugas orientalis membuat kerancuan kemapanan agama.
Inti dari gagasan Smith adalah semua agama-agama di  dunia tidak perlu dan tidak penting. Puncak atau tujuan akhir dari beragama adalah kesalehan personal, benar menurut pribadi masing-masing bukan terikat pada satu agama yang dianut. Kebenaran diatas semua keberagamaan menurut personal.





Daftar Pustaka

Adian Husaini, 10 Mata Kuliah Agama Islam , Yogyakarta: Pro-U Media, 2015.
Al-Atas, Islam  dan Sekularisme, Bandung : PIMPIN, 2011.
Endang Saifuddin Anshari, Agama dan Kebudayaan, Surabaya: pt.bina ilmu, 1982.
---------------------------------, Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradima dan Sistem Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004
HAMKA, Tafsir Al-Azar jilid 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2015.
Khalif Muammar, Islam  dan Pluralisme Agama, Malaysia: Centre for Advanced Studies on Islam , Science dan Civilisasion, 2003.
Smith, Wilfred Cantwell, Memburu Makna Agama, Bandung: Mizan, 2004.














[1] Untuk memenuhi mata kuliah Islamic Word View, mata  kuliah ini diampu oleh Ustadz Arif    Wibowo, S.P., M.P.I. dan ustadz Muhammad Isa Anshory, S.S., M.P.I.
[2] Mahasantri Ma’had Aly Imam Al-Ghazally, Karanganyar, 2016.
[3] Khalif Muammar, Islam  dan Pluralisme Agama, Malaysia: Centre for Advanced Studies on Islam , Science dan Civilisasion, 2003, hlm. 1.
[4] Smith, Wilfred Cantwell, Memburu Makna Agama, Bandung: Mizan, 2004, hlm. 29.
[5] Ibid, hlm. 38.
[6] Ibid, hlm. 39.
[7] Ibid, hlm. 41
[8] Ibid, hlm. 54
[9] Ibid, hlm. 101.
[10] Ibid, hlm. 33
[11] Ibid, hlm. 137.
[12] Fathurrahman Kamal, Kritik atas Konsep Islam, Keselamatan dan Makna Ahli Kitab Menurut Prof. Dr. Nurcholish Madjid, http://www.imania.web.id/melacak-genetika-pemikiran-pluralisme-agama, diakses 21 Februari 2016 pkl 21.33.
[13]  Al-Atas, Islam  dan Sekularisme, Bandung : PIMPIN, 2011, hlm. 61.
[14] Ibid, hlm. 63-66.
[15] HAMKA, Tafsir Al-Azar jilid 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2015, hlm. 599.
[16] Ibid, hlm. 10-11.
[17] Kebudayaan menurut Prof. Dr, Koentjaraningrat dalam, Endang Saifuddin Anshari, Agama dan Kebudayaan, Surabaya: pt.bina ilmu, 1982, hlm. 28.
[18] Ibid, hlm. 47.
[19] Smith, Wilfred Cantwell, Memburu Makna Agama, Bandung: Mizan, 2004, hlm. 197-189.
[20] Ibid, hlm. 191.
[21] Adian Husaini, 10 Mata Kuliah Agama Islam , Yogyakarta: Pro-U Media, 2015, hlm. 21-29.
[22] HAMKA, op, cit,  hlm. 596.
[23] Smith, Wilfred Cantwell, op,cit,  hlm. 304
[24]Ibid, hlm. 304
[25] Ibid, hlm. 292.
[26] Khalif Muammar, Islam  dan Pluralisme Agama, op, cit, hlm. 14.
[27] Ibid, hlm. 101.
[28] Ibid, hlm, 195.
[29] Endang Syaifuddin Anshari, Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradima dan Sistem Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, hlm. 37. 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »