Makalah
M. Natsir Pionir Dakwah: Konsep Dakwah M.Natsir dalam Fiqhud Dakwah[1]                  
Oleh: Suhanto[2]

Pengantar

M. Natsir adalah salah seorang putra Indonesia yang dikenal sebagai birokrat, politisi, penulis dan juga sebagai da’i ternama. Sebagai birokrat,  M. Natsir pernah menjabat sebagai menteri penerangan dalam Kabinet Syahrir dan perdana menteri pertama pada masa pemerintahan Soekarno. Sebagai politisi, M. Natsir telah menduduki jabatan puncak partai Islam terbesar, yaitu Masyumi[3]. Sebagai dai ternama, kedudukan yang pernah ia capai Sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami sekaligus juga sebagai tokoh puncak Rabithah Alam Islami, serta menjadi Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)[4]  sejak tahun 1967 sampai wafatnya tahun 1993.       M. Natsir telah menulis sekitar 45 buku atau monograf dan ratusan artikel yang memuat pandangannya tentang Islam.
Khusus dalam bidang dakwah, M. Natsir adalah seorang yang tangguh yang mencoba menerobos melalui benteng-benteng birokrasi dan juga wilayah-wilayah yang terpencil dengan mengirimkan tenaga dai ke tempat-tempat tersebut. Konsep-konsep dakwah pun dicetuskan agar jalan dakwah terarah dan dapat memberi motivasi pada generasi berikutnya untuk berkiprah lebih tekun dalam dakwah Islam pada berbagai bidang kehidupan umat. Konsep dakwah M.Natsir dituangkan ke dalam salah satu bukunya fiqhud dakwah yang diberi kata sambutan Prof. K.H Abdul Kahar Muzakkar, sebagai berikut:
 “ Mengingat perkembangan Dakwah Islamiyah di tanah air kita ini, yang dipandang dari segi materiil dan teknik masih banyak kekurangannya, maka salah satu kekurangan ini dapatlah dikurangi dengan sumbangan yang diberikan oleh buku “Fiqud Dakwah” ini.” [5]

Buku  ini sangat layak untuk menjadi panduan mubaligh atau para dai  mengemban amanah menyebarkan ajaran Islam  untuk mencapai tujuan dakwah.

PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup
Salah satu putra terbaik dari Ranah Minang atau Minangkabau yang memiliki peran dan prestasi dalam memperjuankan kemerdekaan Indonesia dan dakwah agama Islam kaliber Nasional bahkan Internasional adalah Muhammad Natsir. Putra-putra terbaik Minang yang menjadi tokoh-tokoh besar nasional dalam bidang politik, intelektual, pendidikan, maupun keagamaan antara lain, Imam Bonjol,Sutan Syahrir, Hamka, Muhammad Hatta, Haji Agus Salim,dan M. Natsir Sendiri.
Muhammad Natsir adalah putra dari keluarga sederhana, dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1908 di Kampung Jembatan Berukir, Kenagarian Alahan Panjang, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Dari seorang Ibu bernama Khadijah dan Ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan Saripado, seorang pegawai rendah juru tulis pada kantor Kontroler di Maninjau Alahan Panjang.[6] Sejak awal kedua orangtuanya berharap agar putranya kelak memperoleh pendidikan yang baik sehingga ia kelak memiliki wawasan yang luas, ini tersirat dari nama yang diberikan kepada anaknya.[7] M. Natsir bergelar Datuk Sinaro Panjang setelah pernikahannya dengan Nurhanar.[8]
Kebiasaan masyarakat Minang, ketika anak sudah memasuki usia sekitar delapan tahun pada malam hari tidur di Surau bersama kawan-kawan sebayanya seperti halnya M.Natsir kecil. Akan menjadi bahan ejekan dan tertawaan jika umur sudah delapan tahun masih tidur di rumah. Kebiasaan yang demikian merupakan hal membudaya yang lebih kurang sama dengan kebiasaan merantau, bertempat tinggal di surau sebagai rumah kedua. Sepanjang sejarah Minangkabau, surau berfungsi sebagai rantau, yakni tempat untuk mengartikulasikan ketidaksetujuan dengan gagasan-gagasan baru.[9] Di surau ini M.Natsir juga melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektual belajar bersama ulama kampung.[10] Basis spiritual yang kokoh dalam masyarakat Minang secara luas, merupakan modal berharga bagi M.Natsir yang mempengaruhi cara pandang dan pola pikir serta kuat dalam berpendirian di atas agama Islam. Hal tersebut diartikulasikan dalam perlambang utama kebudayaan Minangkabau yang telah Islami, “Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah[11]
M.Natsir meniti jenjang pendidikan diawali dari sekolah di Hollands Inlandsche Scholl (HIS) Adabiyah Padang pada tahun 1916-1923.[12] Ia tidak bisa memasuki HIS Pemerintah karena terbentur pada realitas bahwa orangtuanya hanyalah seorang pegawai rendahan. Kurang satu tahun M.Natsir bersekolah di HIS Adabiyah Padang oleh ayahnya dipindahkan ke sekolah HIS Pemerintah di Solok. Ia dapat langsung masuk OI atas pertimbangan kepintaraanya. Disana, M. Natsir tinggal bersama keluarga Haji Musa, seorang saudagar yang dermawan. Selain sekolah pada HIS, pada sore harinya ia belajarn mempelajari hokum Fikih dan  bahasa Arab kepada Tuanku Mudo Amin-seorang pengikut Haji Rosul[13]- di Madrasah Diniyah dan mengaji Al-Quran pada malam harinya. Pada tahun 1923-1927, M. Natsir memasuki jenjang sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) serta berkenalan organisasi pelajar dan kepemudaan. Organisasi yang di ikuti antara lain, Jong Sumatranen Bond yang diketuai Sanusi Pane, kemudian ia masuk Jong Islamieten Bond serta aktif di Kepanduan Natipij. Dari organisasi ini cakrawala pandangannya tentang realitas bangsanya yang diperlakukan tidak adil oleh kolonial. [14]
Tamat dari MULO, M.Natsir merantau ke Bandung melanjutkan ke AMS A2 (Algemene Middelbare Scholl Westers Klasieke Afdeling)[15] pada tahun untuk menggapai cita-citanya semenjak kecil menjadi seorang “Mesester in de Reschten” (Mr),  satu gelar yang dipandang sangat prestisius pada kala itu.[16] Di Bandung Natsir segera mengejar ketertinggalannya dalam penguasaan Bahasa Belanda sebagai bahasa kaum elite terpelajar pada masa itu. Selain itu, juga terus mendalami ilmu agama. Ada tiga guru yang mempengaruhi alam pikirannya, yaitu pimpinan Persis, A. Hasan, Haji Agus Salim, dan pendiri al-Irsyad Islamiyah Syeck Akhmad Syoekarti. Di Kota Kembang ini, Natsir juga mengikuti berbagai organisasi yang memperkenalkan dengan cendekiawan dan aktivis muslim seperti Prawoto, Haji Agus Salim, serta bergabung dalam Jong Islamieten Bond, organisasi Syarikat Islam, dan Muhammadiyah. Lulus tahun 1930 dari AMS dengan nilai tinggi, sebenarnya Natsir berhak mendapatkan beasiswa melanjutkan kulias di Fakultas Hukum di Batavia, atau kuliah Ekonomi di Rotterdam.berkaitan dengan ini, Natsir menulis:
“Tamat AMS, sebetulnya saya dapat beasiswa untuk kuliah di fakultas hukum, tapi saya memilih tidak melanjutkan kuliah. Saya lebih tertarik melihat persoalan-persoalan masyarakat, persoalan politik. Jadi politik oposisi sebagai orang jajahan itu sangat terasa. Persoalan masyarakat yang saya hadapi lebih menarik. Dan saya merasa berdosa kalau itu saya tinggalkan. Waktu saya mengambil keputusan untuk tidak kuliah itu banyak juga yang terkejut. Tuan Hasan sendiri, yang dekat dengan saya kaget.”[17]

Kepedulian M. Natsir pada problematika umat Islam ketika itu memahamkannya bahwa masalah penting umat saat itu adalah kebodohan sebgaian umat Islam terhadap agamanya sendiri. Untuk itu M.Natsir mulai merintis pendidikannya sendiri yang diberi nama “ Pendidikan Islam” (Pendis). Terobosan lain yang dilakukannya, mengajar agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschoool (Sekolah Guru).[18] Yang menarik, M.Natsir mengajar agama menggunakan Bahasa Belanda, dan menyusun buku teks pelajaran agama berbahasa Belanda juga. Buku tersebut berjudul Komt tot Gebeid ( Marilah Sholat). Dengan cara itu, nampaknya M. Natsir membuat citra bahwa agama tidak identik dengan keterbalakangan. Sebab ketika itu, Bahasa Belandalah lambang kemajuan dan komedernan.[19]
Natsir banyak bergaul dengan pemikir-pemikir Islam, seperti Agus Salim; selama pertengahan 1930-an, ia dan Salim terus bertukar pikiran tentang hubungan Islam dan negara demi masa depan pemerintahan Indonesia yang dipimpin Soekarno. Pada tahun 1938, ia bergabung dengan Partai Islam Indonesia, dan diangkat sebagai pimpinan untuk cabang Bandung dari tahun 1940 sampai 1942. Ia juga bekerja sebagai Kepala Biro Pendidikan Bandung sampai tahun 1945. Selama pendudukan Jepang, ia bergabung dengan Majelis Islam A'la Indonesia (lalu berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi), dan diangkat sebagai salah satu ketua dari tahun 1945 sampai ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Sebelum menjadiperdana menteri, ia menjabat sebagai menteri penerangan. Pada tanggal 3 April 1950, ia mengajukan Mosi Integral Natsir dalam sidang pleno parlemen. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia yang mendorong semua pihak untuk berjuang dengan tertib, merasa terbantu denga adanya mosi ini. Mosi ini memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebelumnya berbentuk serikat, sehingga ia diangkat menjadiperdana menteri oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950. Namun ia mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena perselisihan paham dengan Soekarno, Soekarno yang menganut paham nasionalismemengkritik Islam sebagai ideologi seraya memuji sekularisasi yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Kesultanan Utsmaniyah, sedangkan Natsir menyayangkan hancurnya Kesultanan Utsmaniyah dengan menunjukkan akibat-akibat negatif sekularisasi. Natsir juga mengkritik Soekarno bahwa dia kurang memperhatikan kesejahteraan di luar Pulau Jawa. Menurut Hatta, sebelum pengunduran diri Natsir, Soekarno selaku presiden sekaligus ketua Partai Nasionalis Indonesia (PNI) terus mendesak Manai Sophiaan serta para menteri dan anggota parlemen dari PNI untuk menjatuhkanKabinet Natsir, dan tidak mendukung kebijakan-kebijakan yang diusulkan oleh Natsir dan Hatta.
Selama era demokrasi terpimpin di Indonesia, ia terlibat dalam pertentangan terhadap pemerintah yang semakin otoriter dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia setelah meninggalkan Pulau Jawa; PRRI yang menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas disalahtafsirkan oleh Soekarno sebagai pemberontakan. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan di Malang dari tahun 1962 sampai 1964, dan dibebaskan pada masa Orde Baru pada tanggal 26 Juli 1966.
Setelah dibebaskan dari penjara, Natsir kembali terlibat dalam organisasi-organisasi Islam, seperti Majelis Ta'sisi Rabitah Alam Islami dan Majelis Ala al-Alami lil Masjid yang berpusat di Mekkah, Pusat Studi Islam Oxford (Oxford Centre for Islamic Studies) di Inggris, dan Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) di KarachiPakistan.
Di era Orde Baru, ia membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ia juga mengkritikisi kebijakan pemerintah, seperti ketika ia menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980, yang menyebabkan ia dilarang pergi ke luar negeri. Pada masa-masa awal Orde Baru ini, ia berjasa mengirim nota kepada Tunku Abdul Rahman dalam rangka mencairkan hubungan dengan Malaysia. Selain itu pula, dialah yang mengontak pemerintah Kuwait agar menanam modal di Indonesiadan meyakinkan pemerintah Jepang tentang kesungguhan Orde Baru membangun ekonomi. Soeharto menganggap orang yang mengkritik dirinya sebagai penentang Pancasila. Ia ikut menandatangani Petisi tersebut bersama dengan Jenderal Hoegeng, Letjen Ali SadikinSanusi HardjadinataSK Trimurti, dan lain-lain. Akibat dilarangnya ia pergi ke luar negeri, banyak seminar yang tidak bisa diikutinya. Natsir menolak kecurigaan Soeharto terhadap partai-partai, terutama partai Islam. Apalagi Opsus (Operasi Khusus) yang berada di bawah pimpinan langsung Soeharto juga ikut dikritisi. Padahal, badan intel inilah yang meminta Natsir dalam memulai hubungan dengan Malaysia dan Timur Tengah setelah naiknya Soeharto.  Ia meninggal pada 6 Februari 1993 di Jakarta, dan dimakamkan sehari kemudian.[20]

Karya-Karya M. Natsir:
a.       Islam Sebagai Ideology
b.      Islam Dan Akal Merdeka
c.       Islam Dan Kristen Di  Indonesia
d.      Asas Keyakinan Agama Kami
e.       Mempersatukan Umat Islam
f.       Dunia Islam Dari Masa Ke Masa
g.      Tauhid Untuk Persaudaraan Islam Universal
h.      Fiqhud Dakwah
i.        Dakwah Dan Pembangunan
j.        Mencari Modus Vivendi Antara Umat Beragama Di Indonesia
k.      Buku PMP Dan Mutiara Hilang
l.        Indonesia Di Persimpangan Jalan
m.    Islam Sebagai  Dasar  Negara
n.      Tempatkan Kembali Pancasila Pada Kedudukannya Yang  Konstitusional
o.      Dll

Penghargaan
Dunia Islam mengakui Mohammad Natsir sebagai pahlawan yang melintasi batas bangsa dan negara. Bruce Lawrence menyebutkan bahwa Natsir merupakan politisi yang paling menonjol mendukung pembaruan Islam. Pada tahun 1957, ia menerima bintang Nichan Istikhar (Grand Gordon) dari Raja Tunisia, Lamine Beyatas jasanya membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Penghargaan internasional lainnya yaitu Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah pada tahun 1980, dan penghargaan dari beberapa ulama dan pemikir terkenal seperti Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan Abul A'la Maududi.
Pada tahun 1980, Natsir dianugerahi penghargaan Faisal Award dari Raja Fahd Arab Saudi melalui Yayasan Raja Faisal di Riyadh, Arab Saudi. Ia juga memperoleh gelar doktor kehormatan di bidang politik Islam dari Universitas Islam Libanon pada tahun 1967. Pada tahun 1991, ia memperoleh dua gelar kehormatan, yaitu dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains Malaysia. Pemerintah Indonesia baru menghormatinya setelah 15 tahun kematiannya, pada 10 November 2008 Natsir dinyatakan sebagai pahlawan nasional Indonesia.Soeharto enggan memberikan gelar pahlawan kepada salah satu "bapak bangsa" ini. Pada masa B.J. Habibie, dia diberi penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana.
Reporter Ramadhian Fadillah melaporkan bahwasanya ia tokoh sederhana sepanjang zaman. Ia juga melaporkan bahwa Natsir "tak punya baju bagus, jasnya bertambal. Dia dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah."George McTurnan Kahin -pengajar di Universitas Cornell- mendapat info dari Agus Salim bahwa ada staf dari Kementerian Penerangan yang hendak mengumpulkan uang untuk Natsir supaya berpakaian lebih layak. Apalagi, kemejanya cuma dua setel dan sudah butut pula. Sewaktu dia mundur sebagai Perdana Menteri pada Maret 1951, sekretarisnya -Maria Ulfa, menyerahkan padanya sisa dana taktis dengan banyak saldo yang sebenarnya juga hak perdana menteri. Natsir menolak, dan dana itu dilimpahkan ke koperasi karyawan tanpa sepeser dia ambil. Natsir dikatakan menolak mobil Chevrolet Impala. Padahal, di rumahnya dia hanya memiliki mobil tua, De Soto yang dia beli sendiri untuk mengantar-jemput anak-anaknya. Sebelum dia pindah ke Jalan Jawa, dia berpindah ke Jalan Pegangsaan Timur yang ada di Jakarta. Maka, dikarenakannya ia ikut dalam Permesta, dia masuk penjara satu ke penjara lain selama 1960-66, dan keluarganya kehilangan rumah di Jalan Jawa dan Mobil De Soto tersebut. Hartanya diambil pemerintah.[21]


B.     Konsep Dasar M. Natsir
1.      Wajib Dakwah
“ Dan Hendaklah ada diantara kamu, satu golongan yang mengajak (manusia) kepada bakti, dan menyuruh (mereka berbuat) kebaikan, dan melarang (mereka) dari kejahatan; maka mereka itu adalah orang-orang yang jaya”. (QS. Al-Imron:104)
“ Kamu adalah sebaik-baik Ummat, dilahirkan untuk (kemaslahatan) manusia, kamu mengajak kepada kebaikan, dan kamu mencegah dari kemungkaran,  serta kamu beriman kepada Allah”. (QS. Al-Imron:110)

 “Sampaikanlah apa yang (kamu terima) dari padaku, walaupun satu ayat”.

“Barang siapa diantara kamu melihat sesuatu kemungkaran, maka hendaklah dia mencegahnya dengan tangannya (dengan kekuatan atau kekerasan), jika ia tidak sanggup demikian (lantaran tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan) maka dengan lidahnya, (teguran dan nasehat dengan lisan atau tulisan), jika (pun) tidak sanggup demikian (lantaran serba lemah) maka dengan hatinya, dan yang ini adalah iman yang paling lemah”. (H.R Muslim).

Dan bagaimana pula satu masyarakat, akan selamat, bila para anggautanya sama-sama bungkem, bersikap masa bodoh, bila melihat sesama anggota masyarakat melakukan kemungkaran. Juga tiap-tiap bibit kemungkaran mempunyai daya geraknya sendiri. Diwaktu masih kecil dia ibarat sebutir bara yang tidak sukar mematikannya. Akan tetapi bila dibiarkan besar, dia membakar apa yang ada di sekelilingnya payah akan memadamkannya. [22]

“Islam adalah agama risalah, untuk manusia keseluruhan. Ummat Islam adalah pendukung amanah, untuk meneruskan risalah dengan dakwah;baik sebagai ummat kepada umat yang lain, ataupun selaku perseorangan ditempat manapun mereka berada, menurut kemampuan masing-masing.” [23]
Ayat-ayat dan dalil diatas menjadi pedoman M.Natsir dalam berdakwah. Al-Quran dan Hadits selalu menjadi rujukan utama untuk meyebarkan Islam sesuai dengan apa yang dicontohkan Rosulullah. Allah memerintahkan kepada umatnya yang berilmu untuk mengajak kebaikan dan meninggal kejahatan serta beriman hanya kepada Allah. Ayat-ayat diatas menjadi landasan M. Natsir dalam berdakwah untuk menyerukan agama Islam, sebagai sebaik-baik umat dalam mengajak kemasalahatan umat. Setiap manusia wajib berdakwah kepada sesama walaupun satu ayat yang dihafal, yang di amalkan untuk membumikan ajaran Islam. Untuk mengembangkan ladang dakwah yang masih banyak belum tersentuh Islam M.Natsir memperluas pengertian dakwah dari pengertian hanya sebagai “tabligh” kepada pengertian yang mencangkup seluruh aspek kehidupan masyarakat sebagai kelanjutan risalah Nabi Muhammad SAW.[24]

2.      Pengertian Dakwah
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"(Q.S.Fushshilat:33)
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. (Q.S.            Fushshilat:34-35)
Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S.Fushshilat:36)
Empat ayat diatas merupakan pembukaan dalam buku Fiqhud Dakwah yang tanpa diberi komentar sedikitpun. Sebagai kerangka landasan konsepsional terhadap permasalahan dakwah Islam yang akan dihadapi. Menggambarkan bagaimana M.Natsir menjadikan dakwah sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, menjadi hamba yang menyeru di jalan Allah, menghadapi setiap tantangan, permusuhan bahkan kejahatan dakwah harus ditolak dengan cara yang lebih baik justru bukan  membalas kejahatan dengan kejahatan. Dan kunci dalam berdakwah adalah sabar dalam menghadapi setiap ujian dan selalu mohon pertolongan dan perlindungan kepada Allah.
Pengertian dakwah menurut M.Natsir yang disampaikan memang banyak perbedaan redaksi, akan tetapi makna yang ditanamkan sama. Islam adalah agama dakwah, Islam tidak memusuhi, tidak menindas unsur-unsur fitrah manusia.  Islam mengakui adanya hak dan wujudnya jasad, nafsu, aqal, dan rasa, dengan fungsinya masing-masing. Islam memanggil pancaindra, menggugah akal dan kalbu, menyambung jangkuan untuk menyambung hal-hal yang tidak tercapai oleh mereka sendiri. Sehingga manusia tidak lagi meraba-raba kesana-kesini dan terus salah meraba mencari Tuhannya, seperti yang tersebut dalam cerita lelucon sedih (tragedycomic) tentang nasib lima orang buta yang meraba-raba dengan tangan untuk mengetahui bagaimana gerangan bentuk gajah.[25]
Dakwah dalam arti amar ma’ruf nahi munkar adalah syarat muthlak bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat. Ini merupakan kewajiban fitrah manusia sebagai makhluk sosial (makhluk ijtima’i) dan kewajiban yang ditegaskan oleh Risalah Kitabullah dan Sunnah Rasul.[26] Bila seorang mubaligh diibaratkan dengan seorang petani, maka bidangnya ialah menabur bibit, mengolah tanah, member pupuk dan air, menjaga supaya bibit itu cukup mendapat udara dan seminar matahari, melindungi daru hama, dan lain-lain.[27] Untuk itu, ia harus mengetahui cara bercocok tanam, tahu jenis dan sifat benih yang akan ditebarkan, bagaimana keadaan tanah, tempat pesemaian, keadaan iklim dan pertukaran musim, apa pantangan-pantangan yang harus dihindarkan, apa macam hama yang suka mengganggu tanaman dan bagaimana memberantasnya.[28] Tugas petani hanya menebar benih, adapun menumbuhkan bibit menjadi benih yang hidup adalah kuasa sang Kholiq, diluar kemampuan dan bidang usaha yang petani. Begitu juga dengan hidayah yang mencetuskan sinar iman, karena semata karena karunia langsung dari Allah s.w.t  letaknya diluar jangkauan seorang pemaksa atas mereka.[29]
Pengertian dakwah seperti ini mempunyai pemahaman yang mendalam, yaitu bahwa menyampaikan dakwah amar ma’ruf  nahi munkar itu tidak sekedar asal menyampaikan saja, melainkan memerlukan beberapa syarat, yaitu mencari materi yang cocok, mengetahui keadaan subjek dakwah secara tepat, memilih metode yang representative, menggunakan bahasa yang bijaksana. Tidak kalah penting dari semuanya itu adalah bagaimana memupuk atau menyambung silaturahmi untuk menyebarluaskan dakwah tersebut agar dapat menjangkau dan berdaya guna bagi masyarakat serta mendapat hasil sebagaimana yang diharapkan.

M. Natsir mengelaborasi pengertian dakwah Islam, lebih pada soal teknis penyampaian pesan dakwah Islam. Kegagalannya melakukan dakwah Islam di panggung politik menjadi pengalaman bagi dirinya untuk menjadi lebih jeli terhadap masalah teknis penyampaian dakwah Islam yang semula kurang diperhitungkan.[30]M.Natsir menulis artikel lepas yang berjudul “ Kalimat Hak Lebih Tajam dari Pedang” mengatakan:
“Kewajiban para dai, mubaligh, dan ulama tidak sekedar memberikan fatwa atau memberi vonis bahwa komunis itu haram. Tidak usah kita yang mengatakan, orang awam pun mengatakan komunis itu jahat. Kewajiban umat Islam adalah mengemukakan alternatif dalam menghadapi sistem komunis itu, mengemukakan alternatif  yang baik untuk menghadapi sistem komunis itu, mengemukakan alternatif yang baik untuk menghadapi yang buruk.[31]

Menyampaikan dakwah Islam tidak harus menghukumi dengan label haram, kafir, munafik, dan sebagainya, tetapi dengan perkataan simpatik yang menawarkan atau menyejukkan hati maasyarakat dengan memberi mereka pilihan-pilihan yang lebih baik. Hal tersebut akan lebih relevan dengan arti kata dakwah yang mengandung konotasi memanggil atau mengundang, karena posisi subjek dakwah adalah tamu yang haris dihormati oleh dai sebagai pelaku tuan rumahnya. Oleh karena itu, dakwah Islam yang sifatnya penyampaian itu menyudutkan atau mengafirkan para objek dakwah sebagai tamu adalah sikjap tidak etis, tidak perlu dimasyarakatkan.  Selain itu, akhlak karimah dalam menyampaikan dakwah adalah hal yang sangat penting untuk mencapai tujuan dakwah. Dakwah tidak hanya cukup dengan diucapkan dengan lidah akan tetapi dipraktekkan dengan amal, memberi contoh di tengah-tengah umat dengan etika berdakwah yang baik dan akhlakul karimah. Seperti yang di ucapkan M. Natsir ketika diwawancarai oleh Afif Amrullah mengatakan:
“Dakwah tidak hanya diucapkan dengan lidah saja tapi juga diciptakan dengan amal. Sebenarnya yang dimaksud dengan bi al-hal itu: bi al-lisani al-hal, bi al-lisani al-a’mal, bi al-lisani al-akhlakul karimah”.[32]

3.      Tujuan  dakwah menurut M. Natsir
M. Natsir menulis dakwah dan tujuannya pada serial Media Dakwah . Dalam tulisannya memberikan beberapa ulasan tentang dakwah, terutama tujuaanya. Menurut M. Natsir  tujuan dakwah adalah:
            1.  Memanggil kita kepada syariat, untuk memecahkan persoalan hidup, baik persoalan hidup perseorangan atau persoalan hidup perseorangan atau persoalan berumah tangga, berjamaah-bermasyarakat, berbangsa-bersuku bangsa, bernegara, berantarnegara.
            2. memanggil kita kepada fungsi hidup kita sebagai hamba Allah di atas dunia yang terbentang luas ini, berisikan manusia berbagai jenis, bermacam pola pendirian dan kepercayaannya, yakni fungsi sebagai syuhada ‘ala an-nas, menjadi pelopor dan pengawas bagi umat manusia.
              3. Memanggil kita kepada tujuan hidup kita yang hakiki, yakni menyembah Allah. Demikianlah, kita hidup mempunyai fungsi tujuan yang tertentu.[33]  
Pertama, tujuan dakwah adalah untuk memanggil manusia kepada syariat dan hukum-hukum Allah agar dapat mengatur dirinya dengan agama. M. Natsir memandang agama bukan hanya sekedar kepercayaan saja, tetapi di dalamnya terdapat multisystem untuk mengatur kehidupan manusia, baik hubungan Allah maupun dengan manusia. Tujuan pertama menitik beratkan pada pada konsep Islam mengatur kehidupan manusia dan  terapi dari berbagai problem hidup yang dialami oleh manusia.
Kedua, tujuan dakwah adalah mempertegas fungsi hidup manusia sebagai hamba Allah di muka bumi,  yaitu mengabdi kepada Allah. Menyembah kepada Allah berarti memusatkan penyembahan kepada Allah SWT baik yang berupa ibadah maupun yang muamalah, semuanya dilaksanakan dalam rangka persembahan kepada Allah untuk menggapai ridho-Nya.
Ketiga, tujuan dakwah adalah memanggil manusia untuk kembali kepada tujuan hidup, yaitu mencari keridhoan Ilahi. M. Natsir berpendapat bahwa tujuan hidup yang sebenarnya adalah mencapai keridhoan ilahi. Sebagaimana dikatakannya:
“ Tujuan hakiki adalah keridhaan Ilahi. Keridhaan Ilahi yang memungkinkan tercapainya ‘hidup yang sebenarnya hidup’ yang lebih tinggi mutunya dari hidup manusia;hidup immaterial sebagai kelanjutan dari hidup “materiil”, hidup yang ukhrawi, yang puncak kebahagiannya terletak dalam pertemuan dengan Khaliq Azza wa Jalla. Itulah menyembah sebagai tujuan hidup.”[34]  
Panggilan dakwah pada posisi ini diarahkan agar masyarakat sebagai objek dakwah dapat mengetahui secara tepat akan tujuan hidup yang sebenarnya. Salah satu faktor penting untuk mempercepat tercapainya dakwah adalah keteladanan pribadi dai.[35]Dai tidak saja dituntut memiliki kemampuan handal menyampaikan pesan dakwah, akan tetapi mampu mengamalkan nilai-nilai pesan dakwah bagi dirinya sendiri dan keluarganya karena menjadi sorotan masyarakat.
4.      Mubaligh dalam pandangan M..Natsir
Mubaligh atau dai sering disebut juga pembawa dakwah menurut M.Natsir orang yang membawakan dakwah dengan tujuan membina pribadi dan membangun umat sehingga pribadi dan umat itu berkembang maju sesuai dengan hidup manusia yang diridhoi Kholiqnya.[36] Menurut M. Natsir tugas mubaligh adalah inzar bil-Quran peringatan dengan Al-Quran, apa yang terkandung dalam Al-Quran dan dengan cara-cara yang ditunjuki dalam Al-Quran (Al-Quran wa bi thariqhatihi).[37] Dalam tulisan yang lain, tugas seorang mubaligh adalah balagh. Balagh berarti menyampaikan dengan sempurna Balaghul mubin berarti menyampaikan dengan keterangan yang jelas sedemikian rupa, sehingga dapat diterima akal dan dapat ditangkap oleh hati, dapat pula dicerna kedua-duanya. Balagh bukan hanya sekedar mengumpulkan banyak orang, lalu berpidato di muka mereka.[38] Dalam mengemban tugas dakwah M.Natsir hendaknya mengikuti cara-cara Rosulullah sehingga hasilnya mendekati sukses seperti yang diraih Rosulullah. Namun sangat perlu modifikasi kembali, karena kondisi dan keadaan yang ada pada zaman Nabi sudah sangat berbeda dengan kondisi yang dihadapi para mubalig dewasa ini. Para mubaligh dituntut memiliki kepekaan sosial yang tinggi untuk membaca dan menganalisis setiap perkembangan yang terjadi di masyarakat, karena hal ini penting bagi para mubaligh itu sendiri ketika terjun ke lapangan dalam melaksanakan tugasnya sebagai mubaligh.
Keberhasilan dakwah Islam sangat ditentukan oleh keberhasilan para mubaligh dalam melaksanakan tugas sebagai pelanjut risalah Islam. M.Natsir menyebutkan ada tiga persiapan mubaligh sebelum berdakwah, yaitu persiapan mental, persiapan ilmiyah, persiapan Kaifiat (cara) dan adab dakwah.[39] Pertama pembinaan mental, menyangkut ketenangan batin, stabilitas emosi, dan kemampuan mengendalikan diri dalam melaksanakan tugas.[40]Dalam praktek dakwah di lapangan mubaligh menghadapi orang banyak, orang banyak itu pun menghadapinya dengan berbagai cara dan gaya. Apalagi ketika ada konfrontasi maka pengalaman-pengalaman pahit akan dirasakannya. Maka untuk melakukan tugasnya secara kontinu,  seorang mubaligh harus mampu memelihara ketenangan dan keseimbangan jiwa, dan sanggup pula memulihkan keseimbangan itu, bila mana terganggu ditengah-tengah aksi dan reaksi timbal  balik. Persiapan ekonomi dalam dakwah memiliki peranan penting, karena menyangkut biaya hidup sehari-hari bagi mubaligh dan keluarganya. Mubaligh idealnya memiliki pekerjaan yang menghasilkan uang dan nilai tambah materi lain untuk kehidupannya. Bukannya Mubaligh menjadikan dakwah sebagai profesi mata pencaharian untuk membiayai kehidupannya. Kekayaan ekonomi bukanlah faktor pokok, ada kekayaan yang lebih utama dari kekayaan materi, yaitu kekayaan jiwa dan harga diri. M. Natsir menulis dalam bukunya: 
“Seorang pembawa risalah boleh miskin, tidak mempunyai harta atau kekuasaan  duniawi. Tetapi ada satu kekayaan yang tidak boleh tanggal dari dirinya yaitu: pelupuk matanya dan kepalanya yang tegak, jiwa yang bebas dari tekanan rasa berhutang budi yang menimbulkan rasa kecil yang melumpuhkan daya panggilnya.”[41]

Kedua persiapan ilmiyah, mubaligh harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan ilmu teknologi. Umat Islam, sebagai pendukung dari suatu aqidah, syariah, dan sistem hidup, sama sekali tidak dapat dan tidak boleh mengisolasi diri dari kesimpang-siuran bermacam aliran faham, kepercayaan-kepercayaan dan sistem-sistem lainnya, dari masa kemasa. Mubaligh akan selalu dikonfrontasikan oleh, dan selalu harus mengkonfrontasikan diri, terhadap, pelbagai faham dari luar, disamping dia menghadapi perkembangan-perkembangan dalam lingkungan umat Islam sendiri. Dan bagi mubaligh tidak ada batas dimana ia harus berhenti memperlengkap ilmu-ilmu alat dan mempertinggi mutu tekhniknya. Kalau mubaligh ini tidak mau ketinggalan dan tercecer oleh juru dakwah dari agama-agama lain, dan aliran-aliran faham lain.[42]
Ketiga kafiat dan adab dakwah, persiapan yang berhubungan dengan etika berdakwah, apakah itu pribadi mubaligh maupun menyangkut mubaligh dengan masyarakat. M.Natsir mengutip tulisan Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar, membagi kaifat dan adab dalam berdakwah menjadi tiga:
a.       ada golongan cerdik-cendekiawan yang suka kebenaran, dan dapat berfikir secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka ini harus dipanggil dengan “hikmah”, yakni dengan alasan-alasan, dengan dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akal mereka.[43] Yang dimaksud hikmah menurut Muhammad Abduh,”Adapun hikmah adalah memahamkan rahasia dan faedah tiap-tiap sesuatu” ditempat lain Muhammad Abduh menulis,”Hikmah  adalah ilmu yang shahih (benar dan sehat) yang menggerakkan kemauan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang bermnafaat (berguna)….”[44]
b.      Ada golongan awam, orang yang kebanyakan yang belum dapat berfikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi-tinggi. mereka ini dipanggil dengan “mauidzatun-hasanah”, dengan anjuran dan didikan, yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah faham.
c.       Ada golongan yang tingkat kecerdesaannya diantara kedua golongan tersebut, belum dapat dicapai dengan “hikmah”, akan tetapi tidak akan sesuai pula, bila disamakan dengan golongan awam;mereka membahas sesuatu, tetapi hanya dalam batas yang tertentu, tidak sanggup mendalam benar.[45]

Kesimpulan dari tiga cara membawakan dakwah, sesuai yang dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim: “Kami diperintah, supaya berbicara kepada manusia menurut kadar aqal (kecerdasan) mereka masing-masing.” (H.R. Muslim).  

KESIMPULAN

M. Natsir berdakwah berlandaskan Al-Qur’an dan as-Sunnah dan mencontoh cara Rosulullah menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Mekkah dan Madinah. Salah satu ayat yang menjadi landasan dakwah M.Natsir, “ Dan Hendaklah ada diantara kamu, satu golongan yang mengajak (manusia) kepada bakti, dan menyuruh (mereka berbuat) kebaikan, dan melarang (mereka) dari kejahatan; maka mereka itu adalah orang-orang yang jaya”. (QS. Al-Imron:104).
Natsir menggagas Konsep dakwah Islam bukan sekedar menyampaikan ajaran Islam, tetapi diciptakan dengan bi lisani al-amal. Maksudnya, bi lisani al-hal, bi lisani al-amal, dan bi lisani al –akhlaq karimah. Dengan demikian, dakwah Islam dalam pandangan M.Natsir adalah amar ma’ruf nahi munkar, di dalamnya mengandung tiga unsur utama, yaitu perbuatan lisan,  aktualisasi ajaran dengan karya nyata, dan kepribadian terpuji sebagai sokogurunya.
Keberhasilan dakwah Islam sangat ditentukan oleh keberhasilan para mubaligh dalam melaksanakan tugas sebagai pelanjut risalah Islam. M.Natsir menyebutkan ada tiga persiapan mubaligh sebelum berdakwah, yaitu persiapan mental, persiapan ilmiyah, persiapan Kaifiat (cara) dan adab dakwah.


Daftar Pustaka


Harjono Anwar, Indonesia Kita Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Husaini, Adian, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, Jakarta: Komunitas Nuun, 2011.
Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Natsir, Muhammad, Fiqhud Da’wah, Solo: Ramadhani, 1989.
Natsir, Muhammad, World of Islam Festival dalam Perspektif Sejarah, Jakarta Pusat: Media dakwah, 1976.
Prasetya, Johan, Ajaran-Ajaran para Founding Father dan Orang-Orang di Sekitarnya, Jogjakarta: PALAPA, 2014.
Waluyo, Dari “Pemberontak” Menjadi Pahlawan Nasional Muhammad Natsir dan Perjuangan Politik di Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2009.

 https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir, di akses, 26 Januari 2016, Pkl. 21.45 WIB.








[1] Makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Tokoh Dakwah,  dosen pengampu Muhammad Muslih
[2] Adalah Mahasiswa Magister Non Gelar Jurusan Pendidikan dan Pemikiran Mahad Aly Al-Ghozaly
[3] Masyumi di bentuk pada tanggal 17 November 1945 melalui Kongres Nasional Umat Islam di Yogykarta, di bentuk Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan Sukiman sebagai ketuanya. Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hlm. 56
[4] DDII didirikan pada tanggal 26 Februari 1967 di Masjid al-Munawarah dan  berkantor disana. Pada tanggal 1980 pindah ke Masjid al-Furqon, jalan Kramat Jaya 45, sampai sekarang. Dengan tujuan menggiatkan dan meningkatkan dakwah Islamiyah. (Harjono Anwar, Indonesia Kita Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hlm. 198-199). DDII bukan gerakan politik, tapi sebagai sarana politik lewat dakwah . (Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hlm. 21.)

[5] Natsir, Muhammad, Fiqhud Da’wah, Solo: Ramadhani, 1989, hlm.XIV.
[6] Waluyo, Dari “Pemberontak” Menjadi Pahlawan Nasional Muhammad Natsir dan Perjuangan Politik di Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2009, hlm. 14
[7] Natsir berasal dari kata Natsara yang berarti penulis kalam atau bertaburan. Harapan agar hidupnya kelak dapat mengabdikan diri pada bangsa dan agamanya sebagai seorang penulis yang bertaburan hasil karya dan jasanya. Ibid, hlm, 15.
[8] Pengangkatan gelar pusaka ini diberikan kepada M,Natsir setelah ia kawin dengan Nurhanar pada tanggal 20 Oktober 1934. Ini merupakan adat Minangkabau bahwa gelar tersebut diberikan kepada yang berhak menerimanya secara turun-temurun setelah yang bersangkutan melangsungkan perkawinan, walauoun tidak selamanya demikian. Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 21.
[9] Waluyo, Dari “Pemberontak”, op.cit, hlm. 15
[10] Prasetya, Johan, Ajaran-Ajaran para Founding Father dan Orang-Orang di Sekitarnya, Jogjakarta: PALAPA, 2014, hlm. 185.
[11] Op.cit, hlm. 16
[12] Sekolah ini didirikan oleh H. Abdullah Ahmad pada tanggal 23 Agustus 1915 dengan isi dan bentuk  lain dari HIS Belanda. Sekolah ini mengajarkan semangat nasionalissme dan terbuka bagi semua golongan masyarakat termasuk petani, pedagang, dan buruh kecil.  Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, op.cit, hlm. 22.
[13] Haji Rosul seorang tokoh pembaharu yang memperkenalkan Muhammadiyah di Sumatera Barat dan tahun1918 mendirikan Sekolah Sumatra Thowalib.
[14]Waluyo, Dari “Pemberontak”, op.cit, hlm. 18
[15] Natsir, Muhammad, World of Islam Festival dalam Perspektif Sejarah, Jakarta Pusat: Media dakwah, 1976, hlm. 63
[16] Husaini, Adian, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, Jakarta: Komunitas Nuun, 2011, hlm. 133.
[17] Ibid, hlm. 135.
[18] Waluyo, Dari “Pemberontak”, op.cit, hlm.24
[19] Husaini, Adian, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, hlm. 138
[20] https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir, di akses, 26 Januari 2016, Pkl. 21.45 WIB.
[21]  https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir, di akses, 26 Januari 2016, Pkl. 21.45 WIB.

[22] Natsir, Muhammad, Fiqhud Da’wah, hlm. 110
[23] Ibid.,
[24] Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 56

[25] Natsir, Muhammad, Fiqhud Da’wah, , hlm. 25-26
[26]Ibid.,hlm.109.
[27] Ibid, hlm. 132.
[28] Ibid, hlm. 148.
[29] Ibid, hlm. 132.
[30] Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 67.
[31] Ibid.,hlm 67.
[32] Op.Cit, hlm. 68.
[33] Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 70.
[34] Natsir, Muhammad, Fiqhud Da’wah, hlm. 25.
[35] Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 72.
[36] Opcit., hlm 148.
[37] Ibid.,hlm. 132.
[38] Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 74.
[39] Natsir, Muhammad, Fiqhud Da’wah, hlm. 133.
[40] Opcit., hlm. 76.
[41] Natsir, Muhammad, Fiqhud Da’wah, hlm. 144
[42] Ibid., hlm. 157.
[43] Ibid., hlm. 162.
[44] Ibid., hlm. 164.
[45] Ibid., hlm. 162.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »