Makalah
Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun dalam Kitab Muqaddimah
Untuk Memenuhi Tugas Makalah
Mata Kuliah
KAJIAN TOKOH PENDIDIKAN
Disusun Oleh:
Suhanto
DOSEN PENGAMPU:
Ustadz Muhammad Muslih,
M.PI
Jurusan Pendidikan dan Pemikiran
Ma’had
Aly Imam Al-Ghazaly
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengantar
Pendidikan Islam yang ada selama ini lebih tampak sebagai sebuah
praktek pendidikan dan bukan sebagai ilmu dalam arti ilmu yang memiliki
struktur bahasan dan metodologi penelitian sendiri. Lambannya pertumbuhan dan
perkembangan Ilmu Pendidikan Islam itu bukan hanya terjadi pada saat ini tapi
juga di masa lalu. Sejak masa klasik hingga saat ini belum banyak pakar atau
ulama yang meneliti masalah Pendidikan Islam. Kondisi ilmu Pendidikan Islam
yang demikian ini perlu segera diatasi dengan cara menumbuhkembangkan Ilmu
Pendidikan
Islam melalui serangkaian kajian dan penelitian yang melibatkan
pemikiran dari tokoh intelektual muslim dari zaman klasik, pertengahan sampai
zaman modern ini. Salah satu tokoh pemikir Islam yang tidak sedikit hasil karya
dan buah pikirannya serta eksistensinya dalam dunia keilmuan, khususnya Sejarah
dan Filsafat, tentu ada keterkaitan dengan pemikirannya tentang Pendidikan
Islam, meskipun dalam porsi yang tidak besar. Bahwa corak dan pemikiran Ilmu
Pengetahuan pada masa klasik, masa pertengahan, sampai masa modern selalu
dipengaruhi oleh pembawanya. Dari sini muncul pemikiran yang sangat variatif,
seiring dengan pemikiran yang tidak sama dengan pendahulunya. Ibnu Khaldun
adalah salah seorang tokoh pendidikan Islam.
Ibnu Khaldun adalah seorang
cendikiawan muslim yang hidup pada zaman kegelapan Islam.[1]
Masa kebudayaan Arab-Islam sedang dilanda kemunduran. Imperium Islam menjadi
Negara-negara kecil. Beliau dipandang sebagai satu-satunya ilmuwan muslim yang
kreatif menghidupkan khazanah intelektualitas Islam pada abad pertengahan.
Selain itu, beliau dikenal dengan pemikiran-pemikiran baru mengenai sejarah,
politik, dan sosiologi Islam.
Berangkat dari
pengalaman dan pengamatan yang tajam, Ibnu Khaldun merajut pikiran-pikiran yang
kritis. Yang dituangkan dalam karya-karya besarnya, Muqaddimah yang
merupakan pengantar dari kitab Al-‘Ibar. Dalam kesempatan kali ini,
pembahasan akan penulis fokuskan terhadap konsep-konsep pendidikan pemikiran
Ibnu Khaldun. Yaitu pada kitab Muqaddimah.
Ibnu Khaldun mengarahkan alam
pikirannya mengenai ilmu dan pendidikan secara Realistis materialistis. Ibnu
Khaldun tidak membedakan anatar pendidikan intelektual dan pendidikan praktis,
yang menganut pembedaan tradisional yang pernah dilakukan oleh pemikir
sebelumnya. Pandangan Ibnu Khaldun ini sesuai dengan sudut pandang pendidikan
modern.
Kitab Muqaddimah menjadi rujukan
dunia pendidikan. Ajarannya dalam bidang pendidikan sangat dalam, luas, dan
kompleks. Dalam makalah ini pembahasan akan lebih di fokuskan pada pengertian
pendidikan, Kurikulum pendidikan, pembagaian ilmu, dan metode pengajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Hidup
Ibnu Khaldun memiliki nama asli
Abdurrahman Ibnu Khaldun al-Magribi al-Hadrami al-Maliki. Digolongkan
al-Magribi karena lahir dan dibesarka di Magrib, al-Hadrami keturunannya
berasal dari Hadramaut Yaman. Al-Maliki karena menganut madzab Maliki dan panggilan Wali ad-Din diperoleh setelah
menjadi hakim di Mesir. Ibnu Khaldun Lahir pada bulan Ramadhan 732 H/1332 M di
Tunisia dan wafat di Kairo Mesir, pada 25 Ramadhan 808 H/ 19 Maret 1406 M.[2]
Ibnu Khaldun lahir di tengah
keluarga ilmuwan dan terhormat. Ayahnya bernama Abu Abdullah Muhammad, beliau
berkecimpung dalam bidang politik dan menekuni ilmu pengetahuan dan kesufian.
Wafat pada 749/1348 M akibat, wabah pers yang melanda Afrika Utara. Dari
lingkungan ini, Ibnu Khaldun memperoleh dua orientasi yang kuat: pertama, cinta
belajar dan ilmu pengetahuan; kedua, cinta jabatan dan pangkat.[3
Ibnu Khaldun memiki banyak guru yang
membentuk kepribadian dan keilmuannya. Ayahnya, Abu Abdullah Muhammad adalah
gurunya yang pertama. Tunisia pada waktu merupakan markas ulama dan sastrawan
di Maghrib, tempat berkumpul ulama Andalus yang lari akibat berbagai peristiwa.[4]
Dari ulama ini, Ibnu Khaldun belajar berbagai disiplin ilmu. Dari ayahnya Ibnu
Khaldun belajar membaca, menulis dan bahasa Arab. Kepada Abu ‘Abdullah Muhammad
ibnu Sa’ad bin Burral Al-Ansari, ia belajar Al-Qur’an dan Al-Qira’at
Al-Hasayiri. Ibnu Khaldun memperdalam bahasa Arab kepada Muhammad Al-Syawwasy
Al-Zarzali dan Ahmad ibnu Al-Qassar. Syaikh Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad
Al-Wadiyasyi, darinya ia belajar ilmu-ilmu hadits, bahasa Arab, Fikih. Pada
Abudullah Muhammad ibnu Abdussalam ia mempelajari kitab Al-Muwatta’ karya Imam
Malik. Diantara guru-gurunya yang terkenal dan istimewa yang ikut serta
membantuk kepribadian Ibnu Khaldun adalah, Muhammad ibnu Sulaiman Al-Satti ‘Abd
Al-Muhaimin Al-Hadrami, beliau belajar filsafat, ilmu falak, teologi, logika,
ilmu-ilmu kealaman, matematika, astronomi dan musik.[5]
dan Muhammad ibnu Ibrahim Al-Abili. Dari beliau berdua Ibnu Khaldun belajar
ilmu filsafat, hukum Islam, kitab-kitab hadits, dan pengetahuan bahasa. Pada
usia 20 tahun, Ibnu Khaldun berhasil menamatkan pelajarannya dan memperoleh
berbagai ijazah mengajar dari sebagian besar gurunya setelah ia menimba ilmu
dari mereka.[6]
Setelah tamat belajar, Ibnu Khaldun
dipanggil oleh Abu Muhammad ibnu
Tarafkin penguasa Tunisia untuk memangku jabatan sebagai Shahabib
al-‘Allamah (penyimpan tanda tangan).[7] Ia
menerima tawaran tersebut dan untuk pertama kali pada tahun 751 H memangku
jabatan pemerintahan. Sejak saat itu Ibnu Khaldun mengikuti jejak dan tradisi
keluarga dan nenek moyangnya yang bekerja pada jabatan tertinggi Negara. Hal
yang mendorong Ibnu Khaldun menerima jabatan tersebut adalah karena merasa
tidak punya kesempatan untuk belajar karena ditinggal guru-gurunya. Ibnu
Khaldun memangku jabatan ini selama dua tahun. Kemudian pindah ke Biskara pada
tahun 1352 M dan tahun 1353 M menikah dengan putri seiring Panglima Perang dari
Bani Hafs, Jendral Muhmmad Ibn Hakim.
Tahun 1354 M Ibnu Khaldun hijrah ke
Kota Fez, Maroko. Melalui karir sebagai sekretaris kesultanan pada masa pemerintahan Sultan Abu Hinan.
Tidak lama menjabat, Ibnu Khladun ditangkap Sultan Abu Inan karena dituduh
melakukan sabotase terhadap sultan dan ditahan selama 21 bulan.[8]
Dibebaskan pada pada saat Abu Salim menjabat sebagai Sultan Maroko dan diangkat
menjadi sekretaris pribadi sultan. Namun, pada tahun 1361 M Abu Salim terbunuh
karena intrik politik. Keadaan ini memojokkan Ibnu Khaldun dan masih dicurigai,
Maka setelah memperhatikan bahwa situasi politik di Afrika Utara tidak menguntungkan
dan demi mempertahankan karirnya sebagai pengamat dan politikus ia berangkat ke
Spanyol. Dan memilih Granada sebagai
tempat tinggal, sampai disana pada 26 Desember 1362 M. Karena antara Ibnu
Khaldun Sultan Granada Abu Abdullah Raja III Banu Al-Ahmar dan menterinya Lisan
Ad-Din Al-Khatib telah terjalin persahabatan erat sejak keduanya mengungsi di
istana Sultan Abu Salim di Fez. [9]
Sejak ibnu khladun menginjakkan
kakinya di Granada, Sultan dan Menteri Granada tersebut menyambut hangat dan
menyediakan tempat tinggal yang megah untuk Ibnu Khaldun sebagai balasan atas
pelayanan yang diberikannya saat di istana Abu Salim di Fez.
Pada tahun 765 H/
1362 H Ibnu Khaldun di tunjuk Sultan menjadi duta kepada Raja Kristen Castila,
Pedro El Cruel. Ia terkenal raja yang bengis.[10]
Ibnu Khaldun bertugas menyelesaikan perjanjian damai dan mengatur hubungan
diplomatic antara Granada dan Sevilla. Tugas ini diselesaikan dengan penuh
keberhasilan. Keberhasilannya menyebabkan kecemburuan yang luar biasa dari
perdana menteri Lisan Al-Khitab dan menyebaban konflik. Untuk menghindari
konflik terbuka, Ibnu Khaldun memutuskan untuk kembali ke Afrika pada tahun 776
H.
Berpindah-pindahnya
tugas dari penguasa satu kepada penguasa lain menyebabkan pergolakan dan
tantangan. Naluri kesarjanahannya memaksanya untuk menjauhi kehidupan yang
penuh kejolak dan tantangan ini.
Dalam kondisi demikian Ibnu Khaldun
memasuki suatu tahap dari kehidupannya yang biasa disebut Khalwat.[11]
Masa yang menentukan keberhasilan Ibnu Khaldun dalam bidang keintelektualan,
yang dilalui Ibnu Khaldun selama 4 tahun dari 776-780 H/1374-1378 M. dilakukan
di desa Qal’at Ibn Salamah di rumah Bani ‘Arif. Ditempat ini Ibnu Khaldun
mengarang kitab al-I’bar atau Tarikh Ibnu Khaldun volume yang pertama diberi
judul Muqaddimah. [12]
Pada tahun 780 H/1378 M Ibnu Khaldun
dan keluarganya pindah ke Tunisia dan
menetap sampai tahun 1382 M. Merasa hubungannya dengan Sultan kurang harmonis,
ia minta Sultan untuk pergi haji ke Makkah. Karena alasan suatu hal Ibnu
Khaldun urung ke Mekkah dan menetap di Mesir sebagai guru besar di universitas
Al-Azhar[13]
dan menjadi Hakim Agung Madzab Maliki hingga meninggal dunia pada tanggal 16
Maret 1606 M ( 26 Ramadhan 808 H) dalam
usia 74 tahun. Di makamkan di pusara para sufi di luar Bab al Nasr,
Kairo.[14]
Fersi lain Ibnu Kaldhun meninggal pada 25 Ramadhan 808 H/19 Maret 1406[15].
Karya-karya Ibnu
Khaldun
Sebagai orang
yang suka berpetualang, menjadikan Ibnu Khaldun tumbuh menjadi pribadi yang
penuh inspirasi. Inspirasi tersebut dituangkan dalam sebuah karya tulis ilmiah.
Karya-karya Ibnu Khaldun dikemudian hari menjadi rujukan para ilmuwan dan para
intelektual memberikan sumbangsih bagi perkembangan pengetahuan di dunia Islam.
Di antara karya Ibnu Khaldun:
1. Kitab Muqaddimah, yang
merupakan buku pertama dari Al-‘Ibar.
Pendahuluan atas Al-‘Ibar yang bercorak sosiologis-historis-dan
filosofis.[16]
2.
Kitab Al-‘Ibar wa Diwan
al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyamim al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man
‘Asharahum min Dzawi al Shulthan al-Akbar. ( Kitab pelajaran dan arsip
sejarah zaman permulaan dan zaman akhir yang mencangkup peristiwa politik
mengenai orang-orang Arab, non-Arab, dan barbar, serta raja-raja besar yang
semasa dengan mereka).[17]
3.
Kitab At-Ta’rif bi Ibnu
Khaldun wa Rihlatuhu Syarqan wa Gharban. Berisi sejarah kehidupannya,
riwayat beberapa orang ;penting yang berhubungan dengan Ibnu Khaldun,
dokumen-dokumen, peristiwa-peristiwa tertentu.
4.
Kitab Syifa’ al-sail li
Tahdib al –Masa’il.[18]
Konsep Pendidikan
Ibnu Khaldun
Pengertian dan
Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun
Gambaran umum mengenai makna
pendidikan menurut Ibnu Khaldun mengatakan:
“Barang siapa
tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya
barang siapa tidak memperoleh tata karma yang dibutuhkan sehubungan pergaulan
bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan
tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan
bantuan alam, peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan
mengajarkannya.”[19]
Pendidikan menurut Ibnu Khaldun
mempunyai pengertian yang luas. Pendidikan hanya merupakan proses belajar
mengajar yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Pendidikan adalah suatu proses di
mana manusia secara sadar, menangkap, menyerap, dan menghayati
peristiwa-peristiwa sepanjang zaman.[20]
Pendidikan menjadi wajib karena hakekatnya manusia itu bodoh.
Menurut Ibnu Khaldun bahwa manusia
secara esensial bodoh (jahil) layaknya seperti binatang, manusia hanya
sebatas sperma, segumpal darah, sekerat daging dan masih ditentukan rupa
mentahnya. Hal ini dijelaskan Ibnu Khaldun: “ manusia memiliki kesamaan
dengan semua makhluk hidup dalam sifat kemakhlukanya, seperti perasaan,
bergerak, makan, bertempat tinggal, dan lainnya. Namun manusia berbeda dengan
makhluk hidup lainya karena kemampuannya berpikir yang memberikan petunjuk
kepadanya, mendapatkan mata pencaharian, bekerja sama dengan antarsesamanya,
berkumpul dalam rangka untuk bekerja sama, menerima dan menjalankan ajaran yang
dibawa para nabi dari Allah SWT, serta mengikuti jalan kebaikan yang membawanya
menuju alam akhirat.”[21]
Melalui pikiran inilah, manusia
mampu bertindak secara teratur dan terencana. Kemampuan manusia untuk berfikir
baru dapat dicapai setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan. Dia
mencapai kesempurnaan bentuk melalui ilmu pengetahuan yang dicari melalui organ
tubuhnya sendiri (pendengaran, penglihatan, dan akal). Akhirnya manusia menjadi
berilmu (alim) melalui pencarian ilmu pengetahuan.[22]
Melalui proses kemampuan membedakan,
manusia siap menerima ilmu pengetahuan dan keahlian-keahlian. Kemudian manusia
ingin mencapai apa yang menjadi tuntutan wataknya; yaitu ingin mengetahui
segala sesuatu, lalu dia mencari orang yang lebih dulu memiliki ilmu atau
kelebihan dan dari sinilah timbul pengajaran. Setelah itu pemikiran dan
pandangannya dicurahkan pada hakekat kebenararan satu demi satu serta
memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Akhirnya dia menjadi
terlatih dan ketika itu ilmunya menjadi suatu ilmu special, dann jiwa generasi
yang sedang tumbuh pun tertarik untuk memeroleh ilmu tersebut. Inilah yang oleh
Ibnu Khaldun dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam
peradaban manusia.[23]
Al-Syabani mencoba menganalisis
tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Menurutnya ada enam tujuan pendidikan,
yaitu: a) menyiapkan seseorang dari segi keagamaan dengan memperkuat potensi
iman, sebagaimana potensi-potensi lain; b) menyiapkan seseorang dari segi
akhlak; c) menyiakan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial; d)
menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan; e)menyiapkan
seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang
berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu; dan f) menyiapkan dari segi
kesenian.[24]
Dari penjelasan di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian. Dia telah
memberikan porsi yang sama antara apa yang akan dicapai dalam urusan ukhrowi dan
duniawi, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki. Pandangan Ibnu Khaldun
tentang pendidikan, berbeda dengan pendapat Al-Ghazali khususnya mengenai
tujuan pendidikan. Menurut Al-Ghazali tujuan Pendidikan Islam hanyalah untuk
mendekatkan diri pada Allah, sedangkan Ibnu Khaldun berpendapat bahwa tujuan
Pendidikan Islam sudah dikembangkan dengan memperoleh rizki.[25] Maka atas dasar
itulah Ibnu Khaldun beranggapan bahwa target pendidikan adalah memberikan
kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena dia memandang
aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu.
Karena kematangan berfikir adalah alat kemajuan ilmu industri dan sistem
sosial.[26]
Ibnu
Khaldun adalah salah seorang tokoh pendidikan Islam. Pandangan Ibnu Khaldun tentang pendidikan,
berbeda dengan pendapat Al-Ghazali khususnya mengenai tujuan pendidikan.
Menurut Al-Ghazali tujuan Pendidikan Islam hanyalah untuk mendekatkan diri pada
Allah, sedangkan Ibnu Khaldun berpendapat bahwa tujuan Pendidikan Islam sudah
dikembangkan dengan memperoleh rizki.
Kurikulum dan
Materi Pendidikan
Pengertian kurikulum pada masa Ibnu
Khaldun masih terbatas pada maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru
atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk
kitab-kitab tradisional yang dikaji oleh murid dalam tahap pendidikan.
Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencangkup konsep yang lebih luas
yang di dalamnya mencangkup empat unsur pokok yaitu: tujuan pendidikan yang ingin
dicapai, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, metode penilaian dan
evaluasi.
Ibnu Khaldun mencoba membandingkan
kurikulum pendidikan yang terjadi di Negara-negara Islam bagian barat dan
timur. Ia mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan dasar pendidikan yang membentuk
karakter pokok manusia. Sebab, pendidikan pada anak ketika masih kecil lebih
tertancap kuat dan menjadi dasar bagi perkembangan berikutnya. Pondasi dasar
pertama yang terdapat pada hati merupakan dasar pembentuk karakter manusia. Tergantung
pada pondasi dan cara inilah pertumbuhan selanjutnya terlaksana.
Masyarakat Islam berbeda-beda
tentang metode dalam memberikan pendidikan Al-Qur’an kepada anak, sejalan
dengan perbedaan karakter mereka. Penduduk Maghribi mengajarkan Al-Qur’an saja
kepada anaknya, ditambah selingan menulis dan permasalahannya. Di Andalusia
metode yang diguanakan mengajarkan Al-Qur’an sebagai dasar dan sumber keilmuan
tersebut. Ditambah periwayatan tafsir, ilmu tata bahasa Arab, Khat, dan memahami kitab. Berbeda metode pengajaran
dengan penduduk Afrika. Mereka mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak disertai
hadits dan kaidah-kaidah keilmuan lainnya. Adapun orang-orang timur
mencampur-adukkan pendidikan. Informasi yang sampai kepada kita mengatakan
bahwa perhatian mereka dalam mempelajari Al-Qur’an, keilmuan, dan
dasar-dasarnya dilakukan pada saat dewasa. [27]
Adapun
pandanganya mengenai meteri pendidikan, karena materi merupakan salah satu
komponen operasional pendidikan, maka diklasifikasikan menjadi dua macam:
1.
Ilmu-ilmu tradisional
(Naqliyah)
Ilmu Naqliyah
adalah yang bersumber dari al quran dan hadits yang dalam hal ini peran akal
hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama. Karena
informasi ilmu berdasarkan kepada otoritas syariat yang diambil dari Al-Qur’an
dan hadits. Yang termasuk ke dalam ilmu naqliyah antara lain: ilmu tafsir, ilmu
qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fikih, ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu bahasa
Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu tafsir mimpi. [28]
2.
Ilmu-ilmu filsafat atau
rasioanal (Aqliyah)
Ilmu ini bersifat
alami bagi manusia yang diperolehnya dari kemampuannya berfikir. Ilmu ini
dimiliki semua anggota masyarakat dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan
peradaban manusia di dunia. Ibnu Khaldun membagi ilmu Aqliyah menjadi empat
macam yaitu: ilmu logika, ilmu fisika, ilmu metafisika, ilmu matematika.[29]
Dalam hal materi pendidikan, Ibnu
Khaldun berpendapat bahwa ilmu pengetahuan yang dikenal manusia terdiri atas,
pertama, ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faedah ilmu itu sendiri. Seperti
ilmu agama, ilmu tafsir, fiqh atau Ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan.
Kedua, ilmu-ilmu yang merupakan alat untuk mempelajari ilmu golongan yang
pertama yaitu ilmu bahasa Arab, ilmu hitung, dan ilmu lainnya yang membantu
mempelajari agama serta logika yang
membantu mempelajari filsafat. Ibnu khladun memiliki dualitas sikap, terhadap
ilmu aqliyah ia bersikap bebas dan terbuka sedangkan terhadap ilmu naqliyah
telah menutup pintu ijtihad.[30]
Metode
pembelajaran Ibnu Khaldun
Islam memuliakan orang-orang yang
berilmu. Kedudukannya ibarat pewaris para nabi. Keyakinan agama dengan ilmu
yang menyeluruh menjadikan kekuatan iman atas sesuatu syariat dan ketentuan
Allah Azza wa Jalla. Setiap muslim dan muslimah pun wajib untuk menuntut ilmu
hingga ajal menjemput kelak. Integritas ilmu dan agama membuat sosok manusia
yang mengetahui dasar penciptaan manusia sebagai makhluk Tuhan.
Metode pendidikan adalah segala segi
kegiatan yang terarah dalam membimbing peserta didik untuk mencapai proses
belajar yang diinginkan dan perubahan yang di kehendaki pada tingkah laku
mereka. Pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan tertuang lewat empat
sikap reaktifnya terhadap gaya para
pendidik dimasanya dalam dasar empat persoalan pendidikan. Pertama,
kebiasaan mendidik dengan metode “ indoktrinasi” terhadap anak-anak didik, para
pendidik memulai dengan masalah-masalah pokok ilmiah untuk diajarkan kepada
anak-anak didik tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan
mengusainya. Maka Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi
sedikit.
Kedua, Dikotomi Ilmu Pengetahuan.
Memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai intrinsik semisal ilmu-ilmu
keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu instrumental semisal
ilmu-ilmu kebahasa-Araban dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan,
dan logika yang dibutuhkan filsafat. Sebagaimana diungkapkan Ibnu Khaldun
tentang perbedaan yang dipergunakan di kota-kota Islam pada dasarnya adalah
membatasi kajian disiplin ilmu tertentu, sehingga hasil yang dicapai oleh
peserta didik itupun hanya terbatas, dan tidak bisa holistik.[31]
Ketiga, Metode Paksaan
Menghafal. Para pendidik pada masa Ibnu
Khaldun mengharuskan anak didik menghafal/mempelajari hal-hal yang “tidak
berguna” dalam rentang waktu yang cukup lama dan menyibukkan diri dengan banyak
peristilahan dari materi pembelajaran.
Ibnu Khaldun juga mengkritik pola
pembelajaran yang bertele-tele dan terlalu ringkas-cepat sehingga mengaburkan
materi yang diajarkan Ibnu Khaldun memaparkan bahwa orang Andalusia dalam
pengajaran (ta’lim) Al-Qur’an dan penulisannya dengan menjadikan Al-Qur’an
sebagai pondasi dan sumber Islam serta semua pengetahuan mereka jadikan sebagai
dasar pengajaran. Selain Al-Qur’an mereka juga memasukkan kurikulum syiir,
karang-mengarang, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalannya dan pelajaran tulis
tangan yang indah (khat).[32]
Keempat, metode Militeristik.
Bentuk pemikiran pada masa Ibnu Khaldun yang terkait dengan strategi interaksi
dengan anak didik adalah bersikap keras, anak didik dipaksa dalam pembelajaran.
Ibnu Khaldun mengingatkan agar jangan salah dalam pembelajran karena bisa
berakibat fatal dan berdampak buruk bagi anak didik yang berupa munculnya kelaianan
psikologis dan perilaku nakal.[33]
Metode yang ditawarkan Ibnu Khaldun
terhadap kritik terhadap metode pembelajaran yang berlangsung pada saat itu,
sebagai berikut:
1.
Metode Pentahapan
(Tadarruj)
Pengajaran pada anak hendaknya
dilakukan secara berangsur-angsur, setapak demi setapak dan sedikit demi
sedikit. Pertama-pertama guru menjelaskan permasalahan yang prinsipil mengenai
setiap cabang pembahasan yang diajarkan, keterangan yang diberikan haruslah
bersifat umum dan menyeluruh. Dengan memperhatikan kemampuan akal dan kesiapan
pelajar memahami apa yang diajarkan kepadanya. Ibnu Khaldun menerangkan:
“ ketahuilah bhawa
mengajar pengetahuan pada pelajar hanya efektif jika dilakukan
berangsur-angsur, setapak demi setapak, dan sedikit demi sedikit.…Sampaikanlah
pelajaran dengan cara mendekatkan pemahaman secara bertahab dan global dengan
menyertakan contoh-contoh yang realistis dan dapat dirasakan.”[34]
Ibnu Khaldun telah menerangkan bahwa
pada pengajaran tingkat pertama haruslah bersifat umum dan mencangkup hingga
anak didik mempunyai pengetahuan umum yang memadai. Ibnu Khaldun berkata “keterangan-keterangan
yang diberikan haruslah bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan
kemampuan akal dan kesiapan pelajar memahami apa yang diberikan padanya”.[35]
2.
Metode Pengulangan
Kewajiban guru adalah kembali pada
pembahasan pokok dan mengangkat pengajaran pada tingkat yang lebih tinggi,
disini guru tidak boleh hanya puas dengan cara pembahasan yang bersifat umum
saja, tetapi juga harus membahas segi-segi yang menjadi pertentangan dan
berbagai pandangan yang berbeda. “Ulangi pengajaran untuk ketiga kalinya
dengan lebih tegas sehingga tidak ada kesulitan dan ketidakjelasan yang
dibiarkan. Semua hal yang tertutup dijelaskan dan dibuka kuncinya…hal itu akan
membantunya mengusai dan mengasah nalurinya”.[36]
Lalu guru mengulangi ilmu yang diajarkan itu agar daya peningkatan anak
meningkat daya pemahanmannya. Seperti dituliskan beliau, “Keahlian hanya
bisa diperoleh melalui perulangan perbuatan yang membekas sesuai di dalam otak,
pengulangan-pengulangan lebih jauh membawa kepada kesedian jiwa dan pengulangan
lebih lanjut menimbulkan keahlian dan tertanam dalam”.[37]
3.
Metode Kasih Sayang
Sikap keras dalam pendidikan dapat
berakibat buruk bagi murid, apalagi usia masih kecil. Ini merupakan tabiat
buruk. Barang siapa yang tumbuh dalam kondisi pemaksaan dan penindasan, maka
hal itu akan dapat membuatnya menjadi
orang keras dan berkepribadian sempit, kurang giat dan tidak bisa tumbuh dengan
baik. Hal ini juga dapat membuatnya suka berbohong, pemalas, dan perbuatan
buruk lainnya seperti sikap tidak jujur dengan memperlihatkan sesuatu yang
tidak sesuai dengan apa yang ada didalam hati karena khawatir mendapatkan
penganiayaan.[38]
Akan tetapi anak-anak jangan terlalu dididik dengan lemah
lembut, terutama jika ia bersikap malas dan santai jika anak melakukan sikap
ini bolehlah dilakukan sikap dengan sedikit keras dan kasar. Ibnu Khaldun
mengutip pendapat Harun Ar-Rasyid yang menyebutkan: “ Jangan pula terlalu
lemah lembut, bila seumpama ia membiasakan hidup santai, sebisa mungkin
perbaiki ia dengan kasih sayang daan lemah lembut, jika ia tidka mau dengan
cara ini anda harus melakukan kekerasan.”[39]
4.
Metode kesesuaian dengan
Perkembangan Potensi Peserta Didik
Aktivitas pendidikan adalah suatu
pekerjaan yang membutuhkan keahlian dan pengajaran merupakan suatu kemahiran.[40]
Untuk itulah seorang penduduk harus memiliki kemampuan yang memadai tentang
perkembangan peserta didik, dan pendidik juga harus menguasai ilmu jiwa.
Peserta didik disini sebagai objek didik, bukan subjek didik yang memiliki
potensi yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Peserta didik
dituntut kreatifitasnya agar agar mengembangkan diri dan potensinya. Perlakuan ini membuat pendidikan sebagai
ajang/wahana yang dapat mengembangkan kreatifitas peserta didik. Adapun dalam posisi sebagai
seorang anak, Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai anak manusia yang
memerlukan bantuan orang lain, agar terbimbing ke alam kedewasaan, dalam
konteks ini Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai obyek didik yang
memerlukan bantuan guru sebagai subyek didik.
5.
Metode Rihlah
Ibnu Khaldun mendorong agar
dilakukan perlawatan dalam menuntut ilmu karena dengan cara ini murid-murid
akan mudah mendpatkan sumber-sumber pengetahuan yang banyak sesuai dengan
tabiat eksploratif anak, dan pengetahuan mereka berdasarkan observasi langsung
akan berpengaruh besar terhadap pemahamannya tentang pengetahuan lewat
pengamatan indrawinya. Perlawatan (rihlah) menurut Ibnu Khaldun adalah
perjalanan untuk untuk menemui guru-guru yang mempunyai keahlian khusus dan
belajar pada tokoh ulama dan ilmuwan terkenal. Sebagaimana ditulisnya: “ Bertemu
langsung dengan orang-orang berkompeten dibidang ilmu tertentu dan banyak guru
sangat bermanfaat untuk memahami peristilahan yang mereka pakai, didasarkan
pada apa yang mereka liat dari perbedaan
cara yang mereka pakai. Dengan begitu, sang pelajar mampu membedakan antara
ilmu dan istilah….Pengembaraan adalah suatu keniscayaan dalam mencari ilmu
untuk mengambil manfaat. Sangat jelas manfaat bertemu para guru dan ahli.
Tuhanlah Dzat yang menunjukkan jalan yang lurus kepada orang yang
dikendaki-Nya.”[41]
Para sarjana hendaknya menimba
pengetahuan dengan pergi pada guru-guru yang mempunyai pengaruh, keahlian yang
diperoleh dengan kontak personal dengan guru biasanya akan kokoh, lebih kuat
dan lebih baik. Makin banyak guru, makin baik pula hasil yang akan dicapai.
Peristilahan-peristilahan ilmu kadang rancu bagi seorang pelajar. Hal ini membuat mereka harus belajar kepada para
guru. Sebab, metode yang dipakai oleh para pengajar berbeda-beda.
6.
Praktek/Latihan (Tadrib)
Ibnu Khaldun juga menganjurkan untuk
mengajarkan ilmu melalui pelaksanaan lapangan dan latian (praktek) setelah
proses pemahaman ilmu dilakukan, maka
kemahiran akan terbentuk, dan penguasaan ini akan terbentuk jika guru
mahir dalam ilmu pengajaran. Ibnu Khaldun melihat kasus pengajaran teoritis,
bahwa usaha guru mengajarkan ilmu lebih dari satu waktu akan menghambat
pembentukan penguasaan. Ibnu Khaldun juga melihat orangb yang memiliki keahlian
dalam satu bidang ilmu maka ia tidak akan ahli dalam bidang lainnya. Ibnu
Khaldun mengatakan: “ Kemudian dilanjutkan terus sampai pekerjaan yang lain
selesai, lalu bentuk sulaman diberikan,
dan timbul bagian terbuka tetapi bila orang itu diminta melakukan pekerjaan
menjahit yang sebenarnya, ia sama sekali tidak bisa melakukannya”.[42]
Diibaratkan ibnu khladun seperti
pewarnaan. Pikiran anak didik diibaratkan sesuatu yang fitri dan polos, lalu
penguasaan masuk seperti warna khusus yang mewarnai diri dan pikiran. Jika
pikiran telah tercelup warna ini maka akan sulit mewarnainya dengan warna lain.
7.
Metode menghindari
peringkasan Buku
Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa
banyaknya jumlah buku yang ditulis, dan beragamnya metode yang diperlukan
didalamnya untuk ringkasan membahayakan dalam pengajaran, sebab timbulnya
berbeda-beda istilah yang dipakai dalam pengajaran. “Ketahuilah bahwa salah
satu yang merintangi dan membahayakan ilmu pengetahuan dengan seksama, adalah
banyaknya jumlah buku yang ditulis, berbeda-bedanya istilah-istilah yang
diperlukan dan dipakai dalam pengajaran serta beragamnya metode yang
dipergunakan didalamnya.”[43]
Para sarjana lebih suka mengumpulkan
ringkasan tentang berbagai metode dan kandungan ilmu pengetahuan, mereka
menyusun metode yang dikandungnya dan bahkan, mereka menghadirkan secara
sistematis dalam program ringkasan.
Ringkasan yang semula berk tujuan memudahkan pekerjaan pelajar menghafal ini
pada hakekatnya malah membuat mereka tidak bisa mendapatkan keahlian yang
dibutuhkan . “ Banyak orang-orang yang berpendapat bahwa untuk memudahkan
sampai jalan pada bidang ilmu dengan merinhgkas ilmu mereka menggalakkan dan
membuat ringkasan yang mencangkup pokok-pokok persoalan dan dalil-dalilnya
dengan meringkaskan kata-kata, serta menghimpun sedikit pada pengertian yang
banyak.” [44]
Ringkasan ini membingungkan dan
menyebabkan kesulitan pemula dengan melemparkan tujuan-tujuan padanya sedang ia
belum siap untuk menerimanya, pengusaan yang didapatkan dari ringkasan ini
sangatlah kurang dan ringkasan ini merusak pengertian yang membutuhkan
penjelasan yang terperinci
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ibnu Khaldun memiliki nama asli
Abdurrahman Ibnu Khaldun al-Magribi al-Hadrami al-Maliki. Digolongkan
al-Magribi karena lahir dan dibesarka di Magrib, al-Hadrami keturunannya
berasal dari Hadramaut Yaman. Al-Maliki karena menganut madzab Maliki dan panggilan Wali ad-Din diperoleh setelah
menjadi hakim di Mesir. Ibnu Khaldun Lahir pada bulan Ramadhan 732 H/1332 M di
Tunisia dan wafat di Kairo Mesir, pada 25 Ramadhan 808 H/ 19 Maret 1406 M.
Sebagai orang yang suka berpetualang
dan praktisi pemerintahan, menjadikan Ibnu Khaldun tumbuh menjadi pribadi yang
penuh inspirasi. Inspirasi tersebut dituangkan dalam sebuah karya tulis ilmiah.
Karya-karya Ibnu Khaldun dikemudian hari menjadi rujukan para ilmuwan dan para
intelektual memberikan sumbangsih bagi perkembangan pengetahuan di dunia Islam.
Di antara karya Ibnu Khaldun: Kitab Muqaddimah, Kitab Al-‘Ibar wa Diwan
al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyamim al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man
‘Asharahum min Dzawi al Shulthan al-Akbar, At-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa
Rihlatuhu Syarqan wa Gharban, dan Kitab Syifa’ al-sail li Tahdib al
–Masa’il.
Selain ahli dalam pemerintahan,
dalam kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun juga pemikir pendidikan. Konsep-konsep
pendidikan tertuang dalam kitab Muqaddimah. Pendidikan menurut Ibnu Khaldun
mempunyai pengertian yang luas. Pendidikan hanya merupakan proses belajar
mengajar yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Pendidikan adalah suatu proses di
mana manusia secara sadar, menangkap, menyerap, dan menghayati
peristiwa-peristiwa sepanjang zaman.
Ibnu khaldun membagi membagi ilmu
menjadi dua macam yaitu, ilmu aqliyah dan ilmu naqliyah. Dalam metode
pembelajaran Ibnu Khaldun merumuskan beberapa metode, yaitu: Metode Pentahapan
(Tadarruj), Metode Pengulangan, Metode Kasih Sayang, Metode kesesuaian dengan
Perkembangan Potensi Peserta Didik, Metode Rihlah, Praktek/Latian (Tadrib),
Metode menghindari peringkasan Buku.
Pandangan Ibnu Khaldun
tentang pendidikan, berbeda dengan pendapat Al-Ghazali khususnya mengenai
tujuan pendidikan. Menurut Al-Ghazali tujuan Pendidikan Islam hanyalah untuk
mendekatkan diri pada Allah, sedangkan Ibnu Khaldun berpendapat bahwa tujuan
Pendidikan Islam sudah dikembangkan dengan memperoleh rizki.
Daftar Pustaka
Buku
Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran
Pendidikan Islam, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2015.
Abdurrahman
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, terj. Masturi Irham, Malik Supar, Abidun
Zuhri, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014.
Jurnal dan
Makalah
Jurnal, Reformasi
Pendidikan Islam: Telaah Pemikiran Ibnu Khaldun Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan MasaKini.
http://www.google.co.id/url?url=http://jurnal.ummgl.ac.id/journal/index.php,
diakses pada, 27 Oktober 2015, pukul 22.27 WIB..
Makalah, Moh.Kamilus Zaman,
Konsep pendidikan menurut oleh
Ibnu Khaldun. http://kamiluszaman.blogspot.co.id/2015/04/konsep-pendidikan-menurut-oleh-ibnu.html,
diakses pada, 27 Oktober 2015, Pukul 22.27 WIB..
Jurnal, Siti Rohmah, Relevansi
Konsep Pendidikan Islam Ibnu Khaldun dengan Pendidikan Modern..http://www.google.co.id/url?url=http://e-journal.stain
pekalongan.ac.id/index.php, diakses pada, 27 Oktober 2015, Pukul 22.27 WIB..
[1] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran
Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 513.
[2]
Abdurrahman Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, terj. Masturi Irham,
Malik Supar, Abidun Zuhri, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014, Cet. Ke-6, hlm.
1080
[3]
Ibid.,
[4] Abu Muhammad Iqbal,
Op.Cit., hlm. 519.
[5]
Ibid., hlm. 520.
[6] Abdurrahman Ibnu Khaldun,
Op.Cit., hlm.1081-1082.
[7] Op.Cit., hlm.521.
[8] Ibid., hlm. 521.
[9] Abdurrahman Ibnu Khaldun,
Op.Cit., hlm.1084
[10] Abu Muhammad Iqbal,
Op.Cit., hlm. 522.
[11] Khalwat adalah sebuah
istilah yang digunakan dalam Mistisme Islam yang dipahami sebagai upaya untuk
mengambil nafas untuk membangun rumusan baru demi persiapan diri pada tahap
selanjutnya.
[12] Ibid., 522.
[13] Abdurrahman Ibnu Khaldun,
Op.Cit., hlm.1087.
[14]
Abu Muhammad Iqbal, Op.Cit., hlm. 524.
[15]
Abdurrahman Ibnu Khaldun, Op.Cit., hlm.1087.
[16]
Ibid., hlm. Xiv.
[17]
Ibid., hlm. 1085.
[18]
Abu Muhammad Iqbal Op.Cit., hlm. 525.
[19]
Abdurrahman Ibnu Khaldun, Op.Cit., hlm. xi.
[20] Ibid., hlm. xi.
[21]
Ibid.,
[22]
Abu Muhammad Iqbal Op.Cit., hlm. 528.
[23]
Ibid.,
[24] Ibid.,hlm. 528-529.
[25]Jurnal, Siti Rohmah, Relevansi Konsep Pendidikan
Islam Ibnu Khaldun dengan Pendidikan
Modern.http://www.google.co.id/url?url=http://e-journal.stain
pekalongan.ac.id/index.php, diakses pada, 27 Oktober 2015, Pukul 22.27 WIB..
[26]Makalah, Moh.Kamilus Zaman, Konsep Pendidikan
Menurut oleh Ibnu Khaldun. http://kamiluszaman.blogspot.co.id/2015/04/konsep-pendidikan-menurut-oleh-ibnu.html,
diakses pada, 27 Oktober 2015, Pukul 22.27 WIB..
[27] Abdurrahman Ibnu Khaldun,
Op.Cit., hlm.1003-1004.
[28] Ibid., hlm. xii-xiii.
[29] Ibid,.
[30] Abu Muhammad Iqbal, Op.Cit., hlm. 530.
[31]Jurnal, Reformasi Pendidikan Islam: Telaah Pemikiran Ibnu
Khaldun Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan MasaKini.http://www.google.co.id/url?url=http://jurnal.ummgl.ac.id/journal/index.php,
diakses pada, 27 Oktober 2015, pukul 22.27 WIB..
[32] Abu Muhammad Iqbal, Op.Cit., hlm. 550.
[33]Ibid.,hlm. 551.
[34] Abdurrahman Ibnu Khaldun,
Op.Cit., hlm.994.
[35] Ibid.,
[36] Ibid., hlm. 995.
[37] Ibid.,
[38] Ibid., hlm. 1007.
[39] Abu Muhammad Iqbal,
Op.Cit., hlm. 552-553.
[40] Abdurrahman Ibnu Khaldun,
Op.Cit., hlm. 794.
[41] Ibid., hlm. 1009.
[42] Abu Muhammad Iqbal,
Op.Cit., hlm. 559.
[43] Ibid., hlm. 560-561.
[44] Op.Cit., hlm. 561.
1 komentar:
Write komentar
ReplyAssalamualaikum. Maaf pak Dari salah satu reverensi artikel anda ada yang dari buku abu muhammad iqbal, kebetulan sya lgi mmbutuhkan profil/biografi dari abu muhammad iqbal. Mungkin barangkali ada kalau boleh saya mau minta? Terimakasih
EmoticonEmoticon