- Buah Peradaban

Seputar Konstituante dan Pandangan Kristen terhadap Pancasila

oleh: Suhanto adalah Mahasantri Mahad Aly Al-Ghozaly, Karanganyar

Tanggal 27 Desember 1949 Pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan RIS yang sudah mempersiapkan diri secara lengkap. Penyerahan itu secara resmi dilakukan oleh Ratu Juliana kepada Muhammad Hatta di Amstrerdam dan oleh A.H.J Lovink wakil Ratu Belanda kepada Sultan Hamengkubuwono IX mewakili pemerintah RIS. Sejarah politik Indonesia memasuki babak baru dan konstitusi UUD RIS 1949 yang kemudian diganti dengan UUDS 1950.

Selama berlakunya Konstitusi RIS 1949, UUD 1945 tetap berlaku tetapi hanya untuk negara bagian Republik Indonesia. Wilayah negara bagian itu meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota Yogyakarta. Sistem pemerintahan yang digunakan pada masa berlakunya Konstitusi RIS adalah sistem parlementer. Dengan berdirinya RIS pada tanggal 27 Desember 1949, maka negara kita hanya merupakan salah satu negara bagian saja dari RIS. Begitu pula dengan UUD 1945, hanya merupakan Undang-Undang Dasar Negara Bagian Republik Indonesia. Sedangkan RIS menggunakan Konstitusi RIS 1949. RIS terdiri atas 16 negara bagian dan 1 Wilayah Federal Batavia. Keenam belas negara bagian itu antara lain: Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur, Riau, Negara Sumatera Selatan, Bangka, Belitung, Negara Pasundan, Jawa Tengah, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Daerah Istimewa Borneo Barat, Dayak Besar, Federasi Borneo Timur, Daerah Banjar, Borneo Tenggara, dan Negara Indonesia Timur.

Adapun yang menjadi negara- negara bagian selain RI berdasarkan Pasal 2 Konstitusi RIS adalah Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Madura, Negara Jawa Timur, dan Negara Pasundan. Pada bulan April 1950 tiga belas Negara bagian sudah bergabung dengan Negara bagian RI Yogyakarta. Dengan demikan RIS tinggal tiga Negara RI, Sumatra Timur,dan Indonesia Timur. Akan tetapi rakyat kedua Negara bagian itu ingin bergabung dengan RI, tetapi DPR dua Negara ingin bergabung dengan RIS. Tanggal 15 Agustus 1950 soekarno memproklamasikan terbentukya Negara Republik Indonesia dan pembubaran Negara Bagian Republik Indonesia di Yogyakarta. Negara Republik Indonesia ini bukan berdasarkan UUD 1945 seperti awal kemerdekaannya seperti yang dijelaskan Prof.Dr. Hazairin,SH :

“…semenjak 15 Agustus 1950,-bukan NRI/.1 kembali beserta UUD.- 1945-, tetapi NRI/.III dengan UUDS 1950, yang menghapuskan Konstitusi RIS. Dan semua UUD. Negara-negara bagiannya. Maka semenjak 17 Agustus 1950 itu UUD 1945 telah menjadi pula “een tragisch historisch document” dalam archif NRI.III, yang juga menganut Pancasila tetapi Panca Sila Palsu, kerena didalam sistim UUD-1950 itu sila kerakyatan menjadi Demokrasi Parlementer Barat, yang bukan dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, tetapi dipimpin oleh kekuatan adu tenaga, adu muslihat dan fitnah antara partai-partai politik, yang didalam pertarunganya merusak seluruh hidup Kesatuan Bangsa.”

Undang-Undang Dasar Sementara 1950 terdiri atas Mukadimah dan Batang Tubuh, yang meliputi 6 bab dan 146 pasal. Mengenai dianutnya bentuk negara kesatuan dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang berbunyi “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan.” UUDS 1950 ini merupakan kombinasi antara unsur-unsur dari UUD 1945 maupun dari Konstitusi RIS. Menurut UUDS 1950, kekuasaan legislatif dipegang oleh presiden, kabinet dan DPR. Pemerintah mempunyai hak untuk mengeluarkan undang-undang darurat atau peraturan pemerintah, walaupun kemudian perlu juga disetujui oleh DPR pada sidang berikutnya. Presiden juga dapat mengeluarkan dekritnya kalau diperlukan. Walaupun demikian, kabinet, baik secara keseluruhan maupun secara perorangan, masih bertanggung jawab pada DPR yang mempunyai hak untuk menjatuhkan kabinet seluruhnya atau memberhentikan menteri-menterinya secara individual.

Sistem pemerintahan yang dianut pada masa berlakunya UUDS 1950 adalah sistem pemerintahan parlementer. Dalam Pasal 83 ayat (1) UUDS 1950 ditegaskan bahwa ”Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu-gugat.” Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa

”Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.” Hal ini berarti yang bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan adalah menteri-menteri. Menteri-menteri tersebut bertanggung jawab kepada parlemen atau DPR. Presiden dan wapres tidak memiliki fungsi pemerintahan sehari-hari, tetapi hanyalah sebagai simbol, misalnya dengan menyetujui perdana menteri baru.

Sistem parlementerisme ini memiliki dua kelemahan pokok, yakni: Pertama, fragmentasi parlemen Indonesia, di mana tidak ada kursi mayoritas yang menguasai separuh kursi parlemen sehingga mudah terjadi goncangan politik karena perbedaan kebijaksanaan politik. Kedua, memarginalkan lembaga-lembaga negara seperti TNI/ABRI. Lembaga-lembaga TNI yang sebelumnya ikut aktif dalam kegiatan nasional tiba-tiba dipolitisasi dan berada di bawah kontrol sipil sehingga menimbulkan gejolak politik. Sesuai dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara. Sifat kesementaraan ini nampak dalam rumusan Pasal 134 yang menyatakan bahwa ”Konstituante (Lembaga Pembuat UUD) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini.” Anggota Konstituante dipilih melalui pemilihan umum bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal 10 November 1956 di Bandung oleh Presiden Soekarno.

Pada pemilu umum 1955 sebagai pemilu pertama kali setelah lebih dari sepuluh tahun kemerdekan Indonesia. Pemilu 1955 menghasilkan “empat partai besar” yaitu, PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Tidak ada yang menang muthlak atau mayoritas. PNI diurutan pertama dengan 22,3% suara, Masyumi 20,9 %, NU 18,4% dan PKI 16,4 Persen sedangkan sisa 22 % terbagi diantara partai-partai lainnya. Sedangkan Partai politik islam mendapatkan islam meraih 230 dalam Majelis Konstituante kursi, dan partai lainnya (sosialis, komunis, Kristen, katolik, Nasionalis) mendapat 286 kursi. Dengan demikian partai islam memiliki 45 % kursi, sedangkan menurut UUDS 1950, penetapan UUD Baru harus didukung oleh 2/3 suara yang hadir. Tanpa dukungan parpol lainnya, mustahil para politisi islam menggolkan ideology islam sebagai dasar Negara. Selanjutnya, terjadi perdebatan yang seru tentang dasar Negara yang akan dianut Bangsa Indonesia. Pada saat itu ada tiga rancangan (draft) dasar negara, yaitu Islam, Pancasila, sosial-ekonomi. Namun rancangan yang terakhir ini, diajukan oleh Partai Buruh dan Murba yang didukung sedikit anggota sehingga akhirnya perdebatan didominasi antara ideologi Islam dan pancasila.

Kontroversi ini sebenarnya dimulai sebelum terbentuknya Konstituante. Pada tahun 1945 Soekarno memberikan janji-janji yang dipegang oleh golongan islam pada saat pembicaraan di BPUPKI dan PPKI yang menghasilkan kompromi Piagam Jakarta. Soekarno mengatakan: “…??? “

Namun pada tanggal 27 Januari 1953 soekarno menyampaikan pernyataan yang mengagetkan dan menimbulkan reaksi keras yang disampaikan para pemimpin islam terhadap pidato ini, baik dari Masyumi, NU, PSII, dan Perti, maupun ormas islam lainnya. Ketika dia berkata di Amuntai, Kalimantan Selatan:

“ Negara yang kita susun dan yang kita ingini ialah Negara yang nasional yang meliputi seluruh Indonesia. Kalau kita dirikan Negara berdasarkan Islam, maka banyak daerah-daerah yang penduduknya tidak beragama islam akan melepaskan diri, misalnya Maluku, Bali, Flores, Timor, Kai, dan Juga Irian Barat yang belum masuk wilayah Indonesia tidak akan ikut dalam Republik.”

Pidato soekarno ini mengundang reaksi dan ptotes dari berbagai kelompok islami. M. Isa Anshori adalah yang pertama kali menyatakan reaksinya secara terbuka.” Pidato presiden soekarno itu jiwa dan semangatnya adalah tidak demokratis dan tidak konstisusional”. Dalam nota protesnya yang bertanggal 31 januari 1953 ia menilai pidato tersebut “bukanlah suatu kebijaksanaan yang dapat dihargakan, karena berisi “penantangan” terhadap ideology islam yang dianut oleh sebagian besar dari warga Negara Indonesia.” Protes ini segera diikuti oleh pengurus Besar Nahdlatul Ulama (4 Februari 1953), pengurus Besar Front Mubaliqh Islam medan (4 Februari 1953), Dewan Tertinggi Partai Islam Perti (5 Februari 1953), Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (12 Februari 1953), dan Pengurus Besar Persatuan Islam (16 Februari 1953).

Pernyataan protes lainnya seperti yang disampaikan DT PI Perti yang ditandatangani oleh H. Siradjuddin Abbas menilai” Pidato Presiden kali ini bertendens adu domba dan menggelisahkan umat islam…Dasar Negara Republik Indonesia yang akan datang seharusnya diserahkan kepada kepada dewan konstituante secara demokratis, bukan pada pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat Presiden seorang diri”. Sementara itu, PP GPII dalam suratnya kepada presiden antara lain mengatakan:

“ Kini Bapak sudah menanam benih-benih separatisme kepada rakyat…Dan ternyata dengan itu Bapak telah menyatakan memihak kepada segolongan rakyat yang tidak setuju dengan ideology islam”.

Para pemimpin Nasionalis “sekuler” pada gilirannya membela soekarno. Mereka membantah “….atas dasar hak prerogative presiden Soekarno sebagai seorang pemimpin revolusi memberi ilham rakyatnya disamping sebagai kepala Negara yang konstitusional”.

Usaha-usaha ditempuh untuk mendudukkan istilah-istilah kunci tentang hal itu termaksud secara jelas di dalam diskusi. Pada tanggal 7 Mei 1953 presiden Soekarno menyampaikan kuliah umum di Universitas Indonesia tentang “ Negara nasional dan cita-cita islam”. Pada akhir pidatonya, presiden soekarno mengatakan:

“ tentang kedudukan pancasila dan islam, aku tidak bisa mengatakan lebih daripada itu dan mensitir saudara Pemimpin Besar Masyumi, Muhammad Natsir. Di Pakistan, di Karachi….beliau mengatakan bahwa Pancasila dan islam tidak bertentangan satu sama lain…coba dengarkan. Saudara Natsir menjawab pertanyaan Saudara Ranuwihardjo.”

Akan tetapi pada tanggal 5-6 Mei 1954 Soekarno memberikan kuliah Umum di depan mahasiswa di Gubernuran Sulawesi Makasar, yang bagi banyak kaum nasionalis islami, mengandung unsure-unsur yang jelas bertentangan dengan ajaran islam. Ketika menguraikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, antara lain Soekarno berkata:

“bangsa Indonesia tokh masih stadia agrarian,…pertanian yang seperti dulu, bukan pertanian modern, tidak. Dan satu bangsa yanhg masih dalam stadia agrarian, tidak boleh mesti mistik atau religius. Orang hendak menanam padi dia sekedar barang kali melihat bintang. Dia mencangkul dia punya sawah, menggarap dia punya sawah, mohon ujan….dari satu zat yang tidak terlihat. …..Mohon kepada suatu zat yang ghoib. Ini yang membuat ia mistik atau religius.”

Pernyataan soekarno mendapat protes keras dari ulama dan Mubalighin Makasar pada Juni 1954, yang menilai:

1. Haram hukumnya bagi orang islam mengucapkan kata-kata demikian;

2. Haram hukumnya bagi orang islam untuk menaati dan meng’iktikadkan maksud pidato seperti di atas.

Demikan kontroversi yang dimulai pada tahun 1953 mengenai penafsiran pansila sebelum Majelis konstituate dibentuk. Beberapa data 1953 dan 1954 memberikan beberapa kesan, situasi, dan atmosfir dalam konstituante ketika majelis ini memulai kerjanya pada November 1956. Dalam pandangan golongan islam, Pancasila adalah ideology yang kabur sehingga dapat ditafsirkan berbeda-beda oleh para pendukungnya. Pancasila tidak akan berkata apa-apa kepada jiwa umat islam yang sudah memiliki pandangan hidup yang tegas, terang, dan lengkap. Dalam sidang ini Natsir mengatakan:

“ Pancasila sebagai filsafat negara itu bagi kami adalah kabur dan tidak bisa berkata apa-apa kepada jiwa umat islam yang sudah mempunyai dan kepada jiwa umat islam yang sudah mempunyai dan memiliki satu ideology yang tegas, terang dan lengkap dan hidup dalam rakyat Indonesia sebagai tuntunan hidup dan sumber kekuatan lahir dan bathin, yakni Islam. Dari ideology islam ke Pancasila bagi umat islam adalah ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, keruang hampa, vakum, tak berhawa. Betul demikianlah ibaratnya, saudara ketua.”

K.H Masjkur mengatakan pancasila sebagaimana yang ditafsirkan pendukungnya tidak bermakna banyak. Dapat ditafsirkan dengan aneka macam cara yang berbeda-beda:

“pancasila adalah rumusan yang kosong, masih membutuhkan isi. Pancasila akan menjadi perwujudan menurut orang yang mengisinya. Kalau andaikata Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam sila pertama di dalam pancasila itu diisi orang atau golongan yang mengakui bahwa tuhan itu adalah batu, maka Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah batu. Kalau diisi oleh orang atau golongan yang mempertuhankan pohon, ketuhanan dalam pancasila itu akan berisi ketuhanan pohon.”

M. Natsir memperkuat pernyataan K.H Masjkur bahwa tidak ada seorang pun yang menyangkal Pancasila itu memiliki ide-ide yang baik. Akan tetapi keterangan-keterangan dari penyokongnya tidak mampu menentukan apa isi yang sebenarnya, bagimana urutan antar sila, apa asal usulnya, dan apa hubungannya sila satu dengan yang lainnya. Karena ketidak jelasan ini akan muncul permasalahan-permasalahan yang menjalar. Maka asas Negara Indonesia harus terang dan tegas agar dapat membingbing bangsa Indonesia, inilah yang membuat umat islam sulit menerima sesuatu yang tidak tegas.

Sementara itu, Muhammad Isa Anshari mengkritik “teori perasan” soekarno yang telah menghilangkan Ketuhanan yang Maha Esa: Ketuhanan yang Maha Esa dilebur ke dalam kalimat “gotong royong” Ketuhanan yang Maha Esa dilenyapkan sama sekali, tinggallah satu sila saja, sila baru, sila gotong royong. Pidato yang diucapkan bung karno saat rapat BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945:

“ Jika kalau saya peras dari yang lima menjadi tiga dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotonng royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong royong. Alangkah hebatnya Negara Gotong Royong !.”

Soewiryo ketua Umum PNI golongan nasionalis masih beranggapan pancasila adalah solusi yang terbaik untuk dasar Negara yang membawa kemakmuran dan kehidupan yang bebas. Agama bagi pendukung pancasila adalah suci dan luhur, justru dengan kesucian dan keluhuran pendukung pancasila merasa keberatan agama dipakai sebagai dasar Negara. Kemudian dia Mengutip pernyataan yang ditandatangi Soekarno dan Hatta pada 4 September 1957 pendapat dari:

“ Bahwa pancasila,yang dicantumkan dalam mukaddimah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia tahun 1945, adalah jaminan hakiki bagi seluruh rakyat Indonesia, untuk tetap berkehidupan bebas dan merdeka, adil dan makmur.”

Perdebatan yang panjang dan alot antara golongan Nasionalis pendukung pancasila, dan golongan islami serta kaum minoritas yaitu Kristen dan komunis memakan waktu berbulan-bulan. Sangat beralasan kesimpulan Profesor Notonagoro, “bahwa diantara lima sila itu, sila’Ketuhanan Yang Maha Esa’ yang paling banyak menjadi persoalan.” Dan W.B. Sidjabat, seorang Protestan, memandang:

“ ….bahwa penafsiran sila yang pertama yang dikemukakan oleh Soekarno dan yang lain-lainnya tidak secara khas mencerminkan konsep islami tentang Tuhan. Para muslim ortodoks…tentu saja jauh daripada penafsiran seperti itu. Ketidakpuasan mereka itu sungguh dapat dipahami mengingat kacaunya penafsiran sila pertama itu.”

Menurut keterangan Prawoto Mangkusasmito, tokoh masyumi yang menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Konstituante, mereka (para tokoh Masyumi) sudah bersiap-siap melakukan kompromi dengan Ketua Konstituante Sartono, dengan menerima dasar Negara Pancasila. Adapun alasan untuk tetap bersikukuh mempertahankan Islam dalam konstituate adalah sebagai strategi untuk mendapatkan posisi menguntungkan dalam tawar-menawar politik yang akan dilakukan, terutama mengantisipasi PKI, Partai Murba, dan sebagian anggota PNI.

Upaya mengantisipasi PKI, Muh. Isa Anshory menyampaikan pandangan umum melayani ideology komunisme dan aliran atheis sebagaimana tugas khusus yang diamanahkan dari fraksi Masyumi kepadanya dengan kata dan caranya sendiri. Karena merasa gerakan dan perjuangan komunisme sudah berkumandang di Nusantara. Hasutan terhadap ulama yang bermuktamar di Palembang itu telah memproklamasikan perang saudara kepada anggota partai komunis Indonesia. Muh. Isa Anshori menegaskan:

“ ….kaum penghasut perang itu melemparkan tuduhan dan fitnah kepada Muktamar Ulama itu, mengatakan, bahwa partai sayalah yang menjadi biang-keladi dan kambing hitam dari Muktamar itu. Malah saudara ketua, Saudara Nungcik A.R. mengatakan dalam pidatonya dimuka Parlemen bulan yang lalu, bahwa muktamar Ulama di Palembang adalah Muktamarnya Isa Anshory dari Front anti Komunis.”

Agitasi dan Demagogi Presiden soekarno pada saat pidato dalam pertemuan ulang tahun sumpah pemuda di Istana Negara dirasakan oleh umat islam sebagai tantangan dan perlawanan dari Presiden Soekarno terhadap Resolusi Muktamar Palembang itu, dirasakan oleh umat islam sebagai ultimatum dan ancaman terhadap mereka. Pidato presiden soekarno itu menimbulkan heboh dan kegoncangan serta reaksi spontan dari kaum muslimin Indonesia. Dalam pidatonya soekarno mengatakan:

“ Jikalau ada golongan muslimin yang tidak menyukai dan menentang komunisme, dipersilahkan mereka keluar meninggalkan Indonesia.”

Paham komunis menitik beratkan kepada penyangkalan keberadaan Tuhan, karena menurut keyakinan mereka, percaya kepada adanya Tuhan adalah buah ketakayulan hidup dan kedunguan manusia. Seperti yang diproklamasikan D.N Aidit Sekjen Central Commite Partai Komunis Indonesia (C.C. P.K.I) dalam kampanye Pemilihan Umum di Yogyakarta pada tanggal 19 Oktober tahuin 1957 dengan bahasa yang jelas bahwa Partai Komunis Indonesia adalah partai atheis.

Bagaimana sikap dan pendirian kaum komunis terhadap agama, telah diketahui oleh seluruh dunia. Pembersihan dan pemusnahan yang dilakukan oleh kaum komunis terhadap umat beragama, ulama dan pendeta, telah menjadi riwayat yang sangat sedih dan gelap bagi kehidupan keagamaa, terutama di Negara-negara yang dikuasai oleh kaum komunis.

Di Indonesia sendiri terjadi pemberonakan kaum komunis di Madiun tanggal September 1948, sebenarnya adalah penyembelihan besar-besaran kaum terhadap kaum agama dan kaum nasionalis. Kalau sekarang pentolan-pentolan PKI mengaku bahwa mereka tidak anti agama itu semua adalah siasat politik belaka yang hendak mengelabuhi mata rakyat dan dunia. Hal itu bertentangan dengan ajaran marxisme dan komunisme, bertentangan sama sekali dengan kenyataan dan kesaksian sejarah.

Selain menanggapi kaum komunis, Muh. Isa Anshory juga menanggapi pidato-pidato dari kaum kaum Kristen yang selalu menolak islam sebagai dasar Negara, mereka beranggapan seandainya islam menjadi dasar Negara, terjadi politik diskriminasi kaum Kristen akan menjadi kaum nomer dua. Muh. Isa Anshory mengatakan:

“ tuduhan-tuduhan dari Prof. Soehardi cum sius (c.s) dari golongan Kristen, bahwa kami kaum muslimin hendak mengadakan politik drisminasi terhadap agama Kristen dalam kelas dua dan sebagainya, tuduhan yang demikian itu saudara ketua, tidak layak dan tidak patut dilemparkan kepada kami; kami hanya mengharap, mudah-mudahan tuduhan yang tidak beralasan itu, lekas-lekas hilang dari ingatan kami, karena tuduhan yang seperti itu hanyalah lahir dari purbasangka tanpa dasar dan alasan.”

Tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada kaum muslimin bahwa dalam Negara yang berdasarkan islam, akan ada diskrimansi antara satu agama dengan agama yang lain seperti yang diungkapkan oleh pembicara Kristen adalah tidak benar. Justru umat islam merasa terdiskriminasi ketika zaman kolonial imperalisme belanda, dimana politik diskriminasi kaum penjajah membuat betapa luka dan parahnya kehidupan rohani dan kelancaran hidup islam. Seperti yang dikatakan Muh. Isa Anshory:

“ Saudara-saudara golongan Kristen barangkali yang akan lebih tahu, bahwa kami kaum muslimin di Indonesia, 350 tahun lamanya merasakan atau menjadi korban politik diskriminasi”.

Prof. Hamka memberikan penjelasan yang senada dengan Muh. Isa Anshori dengan bahasa yang halus dan bersastra. Bahwa yang mengacau selama ini ialah Belanda. Didalam menjajah tanah air ini selalu menyalah-gunakan penyiaran agama Kristen untuk menekan kami. Dibuatnya Kristen sebagai anak kandung dan islam anak tiri. Dan kaum pribumi Kristen dibuat curiga kepada kaum islam. Hamka menyatakan:

“ Kami mengakui terus terang, di zaman penjajahan kadang-kadang kami tidak pula dapat membedakan antara Belanda dengan orang Kristen Indonesia. Tetapi setelah Belanda itu pergi, kita telah berbaik kembali. Dan sejak kita sama-sama berjuang memerdekakan bangsa dan tanah air ini, kita telah hidup sebagai pepatah orang melayu ‘ Selapik seketiduran, sebantal sekalanghulu’”.

Hamka juga menjawab persoalan yang sering dilontarkan kaum Kristen, ketakutan Indonesia akan pecah kalau islam menjadi dasar Negara. Dari awal kemerdekaan pun mereka sudah keberatan mengenai kata” menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dan dalam sidang konstituate diungkapkan kembali penolakan terhadap islam. Dengan bahasa yang beliau dari hati-kehati, menjelaskan ketegaan umat Kristen akan memisahkan diri Indonesia:

“ saudara yang terhormat anggota Binangan Siregar ketika dia berbicara sayapun turut terharu, sebab beliau berbicara dari hati kehati, menyatakan ketakutan Indonesia akan pecah kalau islam menjadi dasar Negara. Bahkan seakan-akan tersebut, ‘kilat beliung dikaki, kilat cermin kemuka’, kaum Kristen akan memisahkan diri. …Sekarangpun saya akan menjawab dari hati ke hati; sampai hatikah saudara akan menarik diri, padahal pekerjaan kita belum selesai? Sampai hatikah akan memisahkan diri ?”

Perdebatan panjang dan melelahkan tentang dasar Negara ini berlangsung sampai rapat terakhir pada tanggal 2 Juni 1959 tanpa menghasilkan sesuatu keputusan. Dalam kurun waktu ini telah terjadi jatuh bangun kabinet hampir setiap tahun. Sampai berakhirnya UUDS tahun 1950, terdapat 7 kabinet yang memerintah. Kabinet tersebut adalah kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951), Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952), Kabinet Wilopo (April 1952-1953), Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-1955), Kabinet Burhanudin Harahap (1955-1956), Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1955-1957), dan Kabinet Juanda (1957-1959).

Pergantian pemerintahan dalam waktu yang singkat menyadarkan elit bangsa bahwa sistem parlementer memberi peluang terhadap ketidakstabilan politik. Dalam peringatan Sumpah Pemuda tahun 1957, Presiden Sukarno menyatakan bahwa segala kesulitan yang dihadapi negara disebabkan oleh banyaknya partai-partai politik. Partai politik yang saling bersaing untuk memperoleh kedudukan yang kuat di parlemen berpengaruh terhadap terjadinya perpecahan dalam tubuh pemerintahan. Untuk menyelamatkan negara dari perpecahan, maka partai-partai politik tersebut harus dibubarkan. Dalam pemikiran Presiden Sukarno, model pemerintahan yang baik adalah Demokrasi Terpimpin.

Majelis konstituante dibubarkan sebelum merampungkan tugasnya, badan ini dibubarkan oleh Bung karno lewat Dekrit 5 Juli 1950. Banyak analisis yang berpendapat bahwa konstituante tidak menghasilkan apa-apa dan hanya merupakan forum perdebatan politik. Tetapi, hasil penelitian Endang Saifuddin Anshari menunjukkan bahwa, tidaklah beralasan kesimpulan yang menyatakan bahwa majelis konstituante tidak menghasilkan apa pun yang bermakna, seperti yang dijelaskan ketua umum Konstituante Wilopo bahwa sudah dapat menyelesaikan 90 persen dari tugasnya. Pembubaran Konstituante lebih banyak disebabkan karena koalisi ABRI dengan Bung Karno yang merasa kepantingan politiknya terancam jika demokrasi parlementer terus-menerus diterapkan, bukan karena “kegagalan” Majelis Konstituante. Hal ini dapat dilihat dalam disertasi Adnan Buyung Nasution.

Atas dasar itulah Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Juli 1959. Adapun isi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebagai berikut:

1. Dibubarkanya Konstituante

2. Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950

3. Dibentuknya MPRS dan DPAS

Menurut para ahli hokum dekrit ini dianggap sah, walaupun sebagian partai politik tidak menganggap sah. Para ahli hokum menegaskan dekrit 5 juli 1959 sah dengan alasan dekrit itu didasarkan pada “hokum darurat Negara yang subjektif”. Yang dimaksud hokum darurat subyektif adalah pengusa diberi hak untuk mengambil suatu tindakan ppengusasa Negara yang menyimpang dari hokum/kebiasaa sehari-hari, kalau dia dihadapkan pada keadaan yang membahayakan, rakyat, bangsa, Negara atau tatahukumnya.

Menurut prof. Hazairin dekrit presiden 5 juli 1959 yang membubarkan konstituante, dan menghapuskan UUDS 1950 dan menggantinya dengan UUD 1945 yang dijiwai Piagam Jakarta tangga 22 juni 1945, adalah rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Maka dengan dekrit itu terbentuklah NR/IV yang menghapus NR/III bahkan bukan sebagai pengganti NR/1 yang berakhir 27 Desember 1949.

Pembentukan MPRS yang terdiri dari DPR dan ditambah dengan anggota perwakilan dari masing-masing daerah dan golongan sedangkan untuk pembentukan DPAS akan dilaksanakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut :

1. MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.

2. Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden

3. Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.

4. Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.

5. MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.

Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.

Seluruh kegiatan konstituante mencerminkan semangat demokrasi yang sesungguhnya, seperti adanya kebebasan mengeluarkan pendapat dan adanya komitmen yang mendasar terhadap bentuk konstitusi. Sehubungan dengan itu, hipotesis bahwa kegiatan konstituante merupakan puncak usaha Indonesia mencapai pemerintahan konstitusional, dapat dibuktikan.

Pandangan Politik Kristen Terhadap Pancasila

Peranan dan pengaruh Kristen terhadap Indonesia terasa dominan mulai awal pendirian republik Indonesia, terbukti dengan penggagalan umat islam untuk menjadikan islam sebagai dasar Negara umat islam sendiri. Penghapusan tujuh kata pada tanggal 18 agustus, atas permitaan kaum Kristen. Seandainya tujuh kata itu tetap tercantum dalam pancasila mereka memilih keluar dari bagian republik Indonesia.

Orang-orang Kristen Indonesia berada dalam keadaan yang khas pada waktu Indonesia-yang kebanyakan penduduknya mayoritas islam- memproklamasikan kemerdekaannya dan perang melawan Belanda yang tadinya membawa KeKristenan ke Indonesia. Orang Kristen Indonesia merasa posisi mereka terancam, karena sebentar lagi pengendali bangsa Indonesia adalah umat islam. Umat yang menjadi anak tiri zaman penjajah belanda. Ketakutan mereka mulai nampak ketika dicampakkan ke dalam arus sejarah. Seperti yang dijelaskan Dr. T.B.Simatupang:

“ Siapkah orang-orang kristen dan gereja-gereja Indonesia dari segi teologi untuk menghadapi tantangan ini? Adakah mereka merenungkan secara teologi tugas mereka saat mereka dicampakkan ke dalam arus sejarah?. Yang jelas ialah bahwa mereka tidak berkesempatan untuk memikirkan gaya yang harus dipakai; pendeknya mereka harus berenang, sebab bila tidak mereka pasti tenggelam.”

Bagaimanakah orang Kristen telah turut serta dalam pengembangan ideology pancasila? Keterlibatan orang-orang Kristen terlibat dalam gerakan nasionalisme untuk mencapai kemerdekaan tidaklah setangguh dan sebanyak pejuang islam. Seperti yang ditulis dalam buku Iman Kristen dan Pancasila, Penulis mencantumkan nama Amir Syarifuddin sebagai tokoh Kristen sebagai pionirnya. Walaupun kita ketahui bersama dalam banyak buku Sejarah Amir Syarifuddin adalah Gembong PKI dan berpaham anti Tuhan. Simatupang dalam bukunya Iman Kristen dan Pancasila menyebutkan:

” sejak semula orang-orang Kristen terlibat dalam gerakan nasionalisme untuk mencapai kemerdekaan. Kita telah menunjuk pada kenyataan bahwa pada suatu waktu Amir Syarifudin merupakan salah satu seorang diantara pemimpin-pemimpin terkemuka dalam gerakan tersebut.”

Dalam catatan sejarah sedikit sekali tokoh-tokoh Kristen yang berjuang mengangkat senjata melawan penjajah Belanda. Pattimura dicatut sebagai pahlawan dari Kristen, walaupun menggunakan atas inisiatif pribadi bukan atas nama dan bantuan pihak gereja. Klaim Kristen yang ditulis oleh M. Sapija dibantah oleh Mansyur Suryanegara penulis buku “menemukan sejarah” bahwa pattimura adalah ulama yang taat. Pendapat Mansyur dapat dilacak dari masyarakat Maluku bermarga Pattimura yang muslim saat ini, mengaku mengikuti agama nenek moyang mereka. Maluku pun jika dilihat dari pesawat Nampak banyak masjid bukan gereja. Dan kerajaan-kerajaan pada zaman itu adalah zaman kerajaan islam. beberapa nama yang dijadikan untuk membesarkan perjuang Kristen adalah Dr.Mulia, Dr. Leimena, Dr. Tambunan, Slamet Riyadi, M.A. Maramis.

Didalam realitas religio-politik, minimalnya peran dan tokoh Kristen dalam partai maupun badan BPUPK serta perumus dasar Negara, tidak mengherankan kalau orang kristen mengalami ‘kekalutan’ menghadapi kemerdekaan Indonesia. Keadaan itu nyaris meruntuhkan kekristenan itu sendiri. Ketika perumusan dalam “piagam jakarta” memunculkan perkataan;” dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemuluk-pemeluknya”, pada tanggal 22 juni 1945. Mr.A.A Maramis yang duduk di dalam panitia perumus piagam tersebut, ternyata dapat menerima rumusan itu. Hal itu menunjukkan betapa parahnya pendidikan dan muatan politik dari perspektif islam.

Ditengah realitas yang memprihatinkan itu Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dideklarasikan pada tanggal 10 November 1945. Partai inilah yang pertama memberikan penegasan teologis menyangkut kemerdekaan Indonesia. Selain mengisi ruang kosong kekristenan dibidang politik pada masa itu, parkindo juga mengembangkan politik teokrasi alkibiah. Dalam arti berupaya mewujudkan kehendak Tuhan. Sebab, pada pasal satu dan dua pendirian parkindo dikatakan:

“a. segala sesuatu adalah berasal dari tuhan, oleh karena Tuhan dan untuk tuhan.b. bagi tiap-tiap maklhuk dan tiap-tiap lingkungan hidup pula bagi Negara dan pemerintahan ada pangilan dan hokum-hukum Tuhan….2. Partai Kristen berpendirian bahwa Negara berwujud karena hendak tuhan dan dengan tujuan untuk menyempurnakan kehidupan manusia di dunia,…”

Namun pancasila adalah lebih dari sekedar payung. Ia mempunyai daya tarik emosionalnya tersendiri. Ia menjadi sebuah ideology. Juga sebuah pandangan hidup. …..sila pertama, yang amat sulit diterjemahkan ke bahasa lain. Sila yang pertama bukanlah “kepercayaan kepada allah”, tetapi lebih berarti kepercayaan kepada ide “ketuhanan”, oleh karena kata yang dipakai disini bukanlah “Allah” tetapi istilah yang lebih netral,”ketuhanan”. kepada istilah tersebut ditambahkan pula keesaan dan kemahaan. Demikianlah sila yang pertama tidak berbicara dengan allah, tetapi tentang keallahan.

“Sejak tahun 1945 partisipasi Kristen dalam perkembangan ideology di Indonesia telah berkembang dengan tujuan khusus untuk menjamin keadilan dan persamaan bagi seluruh warganegara sebagai landasan yang paling mantab untuk membina solidaritas dan kesatuan bangsa. ….tugas kita ialah untuk turut mengambil bahagian dalam mempertahkan dan memelihara dasar Negara kita dan sekaligus berpartisipasi dalam mengembangkan lebih lanjut pola-pola dan nilai-nilai politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan yang mampu memberikan ruang kepada bangsa Indonesia untuk hidup sesuai dengan martabat manusia.”