MEWUJUDKAN
TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL MELALUI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
oleh: Suhanto
A.
Abstrak
Hasil penelitian Komite Nasional Pemuda
Indonesia (KNPI) Jawa Barat menyatakan
40 persen mahasiswa tidak hafal Pancasila. Fenomena
ini ibarat gunung es yang terlihat puncaknya, diluar sana masih banyak yang
tidak hafal Pancasila apalagi memaknai filsafat Pancasila. Selain itu,
Kebobrokan moral siswa saat ini seperti merokok, berzina, narkoba, dan
minum-minuman keras menjadi masalah dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini,
peran pendidikan dan materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan perlu disoroti
karena mata pelajaran ini, mengajarkan terkait ideology dan moral. Sehingga
tujuan Pendidikan Nasional tidak tercapai.
Rumusan masalah dalam makalah ini, Bagaimana
Pendidikan Kewarganegaraan mampu menanamkan Ideologi Pancasila dan menbentuk
moral demi tercapainya tujuan Pendidikan Nasional Indonesia?
Kurikulum Pendidikan Kewarnegaraan harus
selaras dengan tujuan Pendidikan Nasional yaitu mendidik manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tujuan ini harus di turunkan kedalam
buku-buku teks, kurikulum pendidikan, penilaian pelajar, dan dalam aktivitas
akademik. Pendidikan Kewarganeraan harus mampu menanamkan akhlak dan moral yang
baik, moral yang diajarkan agama, bukan seperti moral dalam PMP masa Orde Baru.
Selain itu, Pendidikan Kewarganegaraan juga dituntut mampu menanamkan ideology
Pancasila sebagai dasar negara yang mulai tenggelam pasca reformasi. Akan
tetapi, bukan menggunakan Indoktrinasi P4 dan PMP.
B.
Pendahuluan
Masyarakat
Indonesia tanggal 16 Maret 2016, dihebohkan dengan pernyataan salah satu artis
papan atas Indonesia yang bernama Zaskia
Gotik. Dalam acara Dahsyat di Stasiun TV RCTI, dalam candaannya Zaskia
Gotik dianggap melecehkan lambang negara Indonesia Pancasila sila kelima. Dalam
kuis diacara tersebut, Zaskia mendapatkan pertanyaan apa lambang sila kelima.
Tulisan jawaban zaskia Gotik “bebek nungging”. Sebelumnya, ketika menjawab
tanggal berapa Indonesia merdeka, dia menjawab tanggal 32 Agustus.[1] Bercanda yang kelewatan,
membuat Zaskia Gotik harus berurusan dengan hukum.
Menurut Eni Sumarni salah satu anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) Jawa Barat,
berdasarkan Hasil
penelitian kami dengan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Jawa Barat menyebutkan
sebanyak 40 persen mahasiswa tidak hafal Pancasila.
Sedangkan menurut Ketua DPP Kowani Masyitoh
Chusnan menyayangkan banyaknya anak-anak yang tidak hafal dengan Pancasila.
Menurut Masyitoh hal itu terjadi karena pelajaran mengenai Pancasila itu jauh
berkurang dibandingkan zaman Orde Baru.[2]
Selain
itu, hasil pengamatan penulis terhadap anak-anak di salah satu Sekolah Dasar di
Kabupaten Karanganyar banyak anak kelas satu dan dua tidak hafal Pancasila dan
tidak mengenali lagu Garuda Pancasila. Sedangkan Hasil Survei
yang dilakukan harian Kompas, dan dirilis pada 1 Juni 2008, memperlihatkan
pengetahuan masyarakat mengenai Pancasila memang merosot tajam. Survei yang
dilakukan Kompas pada tanggal 28-29 Mei Mei 2008 tersebut menunjukkan bahwa
48,4 % responden berusia 17-29 tahun menyebutkan kelima Pancasila salah atau
tidak lengkap. 42,7 % responden berusia 30-45 tahun salah menyebutkan kelima
Pancasila. Responden berusia 46 tahun ke atas lebih parah, yakni sebanyak 60,6
% yang salah menyebutkan kelima sila Pancasila.[3]
Kalau
meneliti lebih mendalam masih banyak kasus-kasus serupa ibarat gunungan es,
yang hanya nampak puncaknya dari
beberapa kasus diatas. Selepas runtuhnya Orde baru memang Pancasila tidak lagi
diajarkan disekolah secara intensif, hanya pengenalan sejarah terbentuknya
Pancasila tanpa pendalaman makna Pancasila. Saat ini, mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di sekolah-sekolah sekarang ini hanya
pelengkap kurikulum, dan tidak dipelajari secara serius oleh peserta didik.
Pelajar dan guru hanya mengejar mata pelajaran-mata pelajaran yang menentukan
kelulusan saja. Pancasila sebagai sumber hukum konstitusi
di Indonesia mulai suram, lemahnya pada tingkat pendidikan terutama PKn dan
sosialisasi empat pilar kebangsaan yang kurang optimal. Langkah Orde Baru
menggunakan Indoktrinasi Pancasila perlu di adopsi untuk mengenalkan kembali
Pancasila, akan tetapi tetap perlu mengadakan kajian mendalam untuk merubah
konsep Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Degradasi
moral pelajar saat ini menambah miris dunia pendidikan, moral pelajar jauh dari
norma agama dan prestasi nol. Beberapa kasus yang beredar di media membuat kita
tercengang, itu hanya sebagian kecil yang terekspos yang tidak diberitakan jelas lebih menggurita.
Dunia maya dibuat heboh dengan video mesum “salam OSIS dan salam pramuka” dan
kemudian disusul “salam batik”.[4]
Ditambah lagi kasus Sonya Depari, siswa SMA dan gengnya yang melakukan konvoi dan coret-coret baju setelah selesai
ujian yang memaki-maki polisi karena diberhentikan dan mengaku anak Jenderal.[5]
dan kini diangkat menjadi duta anti narkoba,[6]
Kasus semisal banyak beredar di media sosial, mulai pelajar mabuk-mabukan masih
memakai seragam lengkap, beredarnya berbagai video zina pelajar yang juga masih
mengenakan seragam sekolah, pelajar tawuran, berita pelajar hamil akibat zina,
konvoi dan coret-coret seragam saat kelulusan bahkan tahun ini setelah selesai
Ujian Nasional langgsung konvoi dan pihak sekolah maupun dinas pendidikan tidak
mampu berbuat apa-apa. Tentu tidak semua pelajar seperti itu, yang memiliki moral dan benteng yang
bagus tetap memiliki prestasi yang membanggakan. Miris jika semua degradasi
moral anak bangsa diera digital ini dibeberkan semua, cukup beberapa kasus
diatas menjadi sekelumit contoh betapa merosotnya moral anak bangsa, dan dunia pendidikan tidak
mampu berkata banyak.
Pendidikan
Kewarganeraan (PKn) adalah mata pelajaran yang identik dengan pengajaran dan penanaman moral sebagai
benteng untuk mendidik siswa agar memiliki akhlakul karimah, bersanding dengan
Pendidikan agama. Apalagi sejarah mencatat, pada masa Orde Baru Pendidikan
Moral Pancasila, dijadikan pedoman untuk mendidik moral anak bangsa yang
berdasarkan Pancasila. Walaupun hal ini mendapatkan kritik dari beberapa
kalangan. Akan tetapi yang perlu diapresiasi dari PMP ini, pendidikan moral
begitu ditekankan terutama ketika masih
pada tahap pendidikan tingkat rendah.[7]
dan yang sekarang pendidikan moral dalam pelajaran PKn mulai dihilangkan.
Selain itu, pendidikan moral hanya ditekankan kepada pendidikan agama dan PKn,
itupun masih dinomer duakan dengan mata pelajaran yang menjadi ujian nasional.
Untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional dan menjalankan amanah UUD 1945, terasa
berat jika hanya mengandalkan pendidikan agama dan PKn. Semua mata pelajaran
yang belum terintegrasi dengan tujuan pendidikan nasional menjadi kendala
tersendiri. Terutama PKn yang menjadi garda terdepan dalam menanamkan ideologi
Pancasila sebagai dasar negara, dan menanamkan moral kepada pelajar bukan
sekedar mengajarkan moral. Maka dalam rangka mengenalkan kembali Pancasila dan
membentuk moral (akhlakul karimah), Pendidikan Kewarganegaraan perlu mengalami
evaluasi menyeluruh demi terwujudnya tujuan pendidikan nasional berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
C.
Pembahasan
Pelecehan
terhadap Pancasila yang dilakukan oleh Zaskia Gotik, menyadarkan dan
membangunkan kelengahan masyarakat bahwa Pancasila saat ini hanya sekedar
hiasan di dinding, gambar dan tulisan dalam buku pelajaran tanpa pemaknaan.
Banyak pihak menuding bahwa penyebab terjadi pelecehan Pancasi la
maupun terasingnya Pancasila karena sedikitnya pengenalan dan pengajaran
disekolah-sekolah maupunn ditengah masyarakat pasca Orde baru runtuh. Pada zaman
Orde Baru Pancasila dikenalkan untuk dihayati dan diamalkan melalui cara
Indoktrinasi Pancasila. Indoktrinasi ini menggunakan tiga cara yaitu, Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Penndidikan Moral Pancasila, dan
Asas Tunggal Pancasila.[8]
Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan bidang kajian interdisipliner, artinya materi keilmuan
kewarganegaraan dijabarkan dari beberapa disiplin ilmu antara lain ilmu
politik, ilmu negara, ilmu tata negara, hukum, sejarah, ekonomi, moral, dan filsafat.
Pendidikan Kewarganegaraan dipandang sebagai mata pelajaran yang memegang
peranan penting dalam membentuk warga negara yang baik sesuai dengan falsafah
bangsa dan konstitusi Negara Republik Indonesia.[9] Landasan konstitusi
Republik Indonesia adalah Pancasila, yang tercantum dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara,
terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alinea keempat yang berbunyi:
“…maka disusunlah kemerdekaan Indonesia itu
dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada: Ketuhanan YangMaha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagei seluruh rakyat
Indonesia”.
Apabila
diperhatikan alinea keempat diatas, kata “berdasar kepada” merupakan
petunjuk daripada fungsi dan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara.
Pengertian diatas diperkuat dengan ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966.[10]
Maka Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum melahirkan sumber dan menjadi
dasar dari suatu sumber hukum. Sumber hukum ini kemudian melahirkan hukum-hukum
baru.
Mata
pelajaran yang memiliki spesifikasi mengajarkan Pancasila adalah PKn jika menengok dari aspek sejarah
terbentuknya PKn, sebagai mata pelajaran yang memiliki tujuan menjadikan warga
negara yang baik. Seperti disebutkan dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
Tujuan akhir dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah
terwujudnya warga negara yang cerdas dan
baik, yakni warga negara yang bercirikan tumbuh kembangnya kepekaan,
ketanggapan, ketanggapan, kritisasi, dan kreativitas sosial dalam konteks
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara tertib, damai,
kreatif, sebagai cerminan dan pengejawantahan nilai, norma dan moral Pancasila.[11]
Maka
untuk mengenalkan, memasyaratkan, dan mengajarkan kembali Pancasila porsi
materi Pancasila harus ditambah, untuk memberikan pengajaran Pancasila secara
mendalam, bukan hanya sekedar sejarah dan bagian “luar”nya saja. Salah satu
upaya untuk menjadi warga negara yang baik adalah dengan mengenal dan memahami
Pancasila sebagai dasar negara untuk menghindari pelecehan dan dilupakan
generasi era postmodern. Maka, materi tentang Pancasila harus ditambah
porsinya, setiap kelas harus ada materi
Pancasila yang berkesinambungan sesuai tingkatan kelas dan terintegrasi.
Apabila
menengok sejarah, dimana pada masa Orde Baru semua identik dengan Pancasila,
maka konsep pendidikan penanamannya perlu dipelajari kembali dan bisa dijadikan
acuan untuk pengajaran dan penanaman Pancasila disaat ini. Dalam dunia
pendidikan Orde Baru menggunakan Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dimana
tujuan dan isi materi mulai dari SD, SMP, SMA, bahkan sampai Perguruan Tinggi
berkesinambungan. Yang berbeda hanya dari
penyampaian, aspek dan kedalaman materinya. Perbandingan ketiga aspek
tersebut jika dihubungkan dengan tingkat atau kelas maka prinsip yang digunakan
adalah,” Semakin rendah tingkat
/kelas, maka aspek moral semakin besar dan semakin tinggi tingkat/ kelas, maka
aspek sejarah perjuangan Bangsa Indonesia dan Ketatanegaraan semakin besar.”[12]
Belajar
dari Orde Baru yang berhasil menanamkan Pancasila dan memasyarakatkan guna
untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, Pemerintahan Orde baru menggunakan
Indoktrinisasi Pancasila melalui P4 yang ditetapkan melalui Ketetapan MPR
No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia
Pancakarsa)[13],
yang memberi petunjuk-petunjuk nyata dan jelas pengamalan Sila Pancasila yang
disebut 36 Butir Pancasila[14] yang harus dihafal oleh
seluruh siswa, bukan hanya lima sila Pancasila. Maka dengan kewajiban menghafal
36 Butir Pancasila otomatis siswa akan hafal dan mengerti Pancasila. Selain itu
mahasiswa baru juga diwajibkan untuk mengikuti penataran P4 di kampus melalui
Introduksi Mahasiswa Baru baik Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta. Penataran
ini menggunkan pola mulai tahun 1978-1983 menggunakan pola 25 dan 25 Jam, sedangkan mulai tahun 1983
menggunakan pola 100 jam dan dianggap sebagai pengganti 2 SKS mata kuliah
Pancasila dalam rangka Matakuliah Dasar Umum Dasar.[15] Pola indoktrinasi ini
perlu di kaji ulang untuk penerapan pada masa kini dengan melihat berbagai aspek,
mulai dari dana, tim penatar, lokasi, waktu, dan sebagainya.
Selain
itu P4, juga diintegrasikan ke dalam kurikulum pelajaran PMP mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan
tinggi.[16]
sehingga pelajaran mengenai Pancasila terus berlanjut dan berkesinambungan.
Dari materi yang diajarkan setiap tingkat/kelas mesti terdapat pokok bahasan
mengenai Pancasila yang termuat dalam 36 butir Pancasila.[17]
Keberhasilan
Orde Baru dalam mengenalkan dan memasyarakatkan Pancasila agar mampu dihayati
dan diamalkan seluruh masyarakat Indonesia, khususnya melalui pendidikan perlu
dicontoh untuk diterapkan saat ini. akan tetapi setelah melalui beberapa
koreksi. P4 sendiri telah mendapatkan kritik dari berbagai tokoh, seperti Prof.
HM Rasjidi yang berpendapat P4 membayakan keberadaan Islam. Leifer berpendapat,
P4 untuk melindungi identitas budaya kelompok abangan.[18]
Maka PKn
harus mengadopsi Indoktrinasi Pancasila pada masa Orde Baru untuk menanamkan
kembali Pancasila akan tetapi setelah mengalami perubahan-perubahan yang
disesuaikan dengan kondisi saat ini dan tidak merugikan umat Islam kembali.
Materi yang diajarkan dalam PKn terutama Pancasila harus diajarkan mulai dari
masa TK sampai perguruan tinggi dengan
porsi-porsi yang sesuai, serta Pancasila diajarkan sebagaimana kedudukan
Pancasila sebagai dasar negara bukan sebagai “agama baru.”
Selain
masalah pendangkalan Pancasila, masalah lain yang tidak kalah penting adalah
degradasi moral. Mata Pelajaran PKn menjadi sorotan utama ketika kemorosotan
peserta didik diambang kehancuran. Anggapan orang tua, ketika kemerosotan moral
seperti ini terjadi sebagian orang tua menuding
bahwa Pendidikan Moral sudah tidak diajarkan kembali di sekolah-sekolah
diganti dengan pelajaran kewarganegaraan. Kalau diteliti lebih mendalam memang
demikian halnya, dalam pelajaran PKn materi yang berkaitan dengan Moral sangat
minim. Lebih cenderung kepada kewarganegaraan, seperti pemerintahan,
Undang-Undang, hukum, HAM, dan Globalisasi. Jika demikian halnya, kemerosotan
moral sudah pada tahap kritis, perlu pembenahan serius dan seluruh materi pelajaran terutama PKn.
HAMKA
adalah ulama, sastrawan, penulis dan Ketua MUI yang pertama, dalam bukunya
Lembaga Budi yang ditulis tahun 1930-an,
menulis betapa pentingnya Budi (beliau menulis dengan istilah budi, satu
istilah dengan akhlak dan moral) dalam upaya pembangunan bangsa. Beliau menulis sebuah syair terjemahan dari syairnya
Syauqi Bey,
Tegak rumah karena sendi
Runtuh sendi karena binasa
Sendi Bangsa ialah budi
Hamka
lebih lanjut untuk memperbaiki atau menjaga akhlak (moral) jangan sampai rusak,
maka orang harus menyediakan dua penjagaan. Pertama menjaga masyarakat. Yang
kedua menyediakan ancaman hukuman.[20]
Memperbaiki dan menjaga masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai jalan, salah
satunya dengan memajukan pengajaran PKn. Pendidikan akhlak harus lebih
ditekankan dan dapat dipraktekkan. Seperti halnya pelarangan merokok, konvoi,
pacaran, berpakaian ketat, harus dimasukkan dalam pendidikan moral pelajaran
PKn. Dan materi hukuman bagi pelanggar aturan/indisiplin juga harus diterapkan,
pelajaran ancaman hukuman moral yang ada dalam PKn harus bersifat aplikatif
untuk siswa itu sendiri, bukan mempelajari hukuman bagi pelaku kejahatan yang
kelas kakap seperti koruptor, penyuapan, narkoba dan sebagainya. Materi hukuman
yang diajarkan dalam pendidikan harus sesuai dengan kelas/tingkat siswa
sehingga aplikatif. Contoh mudah, siswa yang merokok mendapatkan hukuman
membersihkan kamar mandi selama 3 hari, siswa yang berpakaian ketat dan tidak
senonoh diberi tugas untuk menghafal
surat atau hadits yang berkaitan dengan adab berpakaian. Pelajaran akhlak
(moral) semacam inilah yang harus diajarkan kepada siswa sebagai sumber kemajuan
bangsa. Lebih lanjut Hamka menjelaskan adalah budi (akhlak/moral) harus bersumber pada Tauhid,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana Nabi Muhammad Saw memerintahkan.[21]
Pentingnya Pendidikan aklhak/moral
seperti yang dijelaskan Hamka sebagai tonggak/pondasi membangunn bangsa. Maka
landasan yang utama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, Tauhid. Artinya pendidikan
moral yang diajarkan dalam mata pelajaran PKn harus bersumber dari agama bukan
dari Pancasila seperti zaman Orde Baru. Belajar
dari sejarah ketika moral bersumber dari Pancasila maka yang ada adalah
Pancasila sebagai agama baru, karena wilayah moral ini diatur dalam agama.
Pendidikan Moral Pancasila yang diterapkan pada masa Presiden Suharto, harus
diadopsi dan dimodifikasi. Jika PMP bersumber dari Pancasila maka pendidikan
moral dalam PKn saat ini harus bersumber dari agama. Karena hakekatnya
Pancasila adalah ideologi kosong, seperti yang dikatakan Muhammad Natsir[22] :
“ Pancasila sebagai filsafat negara itu bagi kami adalah kabur dan
tidak bisa berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam yang sudah mempunyai dan
kepada jiwa umat Islam yang sudah
mempunyai dan memiliki satu
ideologi yang tegas, terang dan lengkap dan hidup dalam rakyat Indonesia
sebagai tuntunan hidup dan sumber kekuatan lahir dan bathin, yakni Islam. Dari
ideologi Islam ke Pancasila bagi umat Islam adalah ibarat melompat dari bumi
tempat berpijak, keruang hampa, vakum,
tak berhawa. Betul demikianlah ibaratnya, saudara ketua.”[23]
Lebih
lanjut, dari pengamatan Muhammad Natsir
yang dituangkan dalam tulisan yang dimuat dalam majalah “Panji Masyarakat
yang berjudul Tolong Dengarkan Pula Suara Kami”, menyimpulkan bahwa PMP salah tujuannya untuk
pendangkalan Islam dan menyamakan antara Pancasila dan agama. Seperti yang
dikatannya, “Diberlakukannya pelajaran PMP di sekolah-sekolah merupakan bentuk
pendangkalan agama dan penyamaan agama dengan Pancasila.”[24] Maka PMP yang bisa adopsi dalam mata pelajaran PKn
adalah modelnya akan tetapi dari sumber harus berasal dari agama. Karena Pancasila sendiri tidak mengajarkan
moral, tidak ada cara gosok gigi menurut Pancasila, tidak ada cara makan
berdasarkan Pancasila. Pancasila sebagai
landasan bernegara bukan sebagai sumber moral, sesuai dengan konsensus faunding
father.
PKn sebagai mata pelajaran yang
memiliki tanggung jawab berat dalam mengawal kesuburan ideology Pancasila dan
perbaikan pendidikan moral. Hanya dalam pelajaran PKnlah pendidikan
kewarganegaraan dan Pancasila serta penanaman moral diajarkan dibantu
pendidikan agama. Sedangkan pelajaran yang lain lebih cenderung kepada
spesifikasi masing-masing pelajaran, sehingga moral anak bangsa menjadi kacau
balau. Seperti yang dikatakan Hamka di atas.
Maka dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional perlu koreksi
total terhadap tujuan masing-masing mata pelajaran, dan disesuaikan dengan
tujuan pendidikan nasional. Serta pengintegrasian seluruh mata pelajaran dan
seluruh kelas/tingkatan, demi terwujudnya peserta didik yang bertaqwa.
Pendidikan
yang dilaksanakan dalam semua tingkatan pendidikan mulai dari PAUD sampai
Perguruan Tinggi harus terintegrasi dengan tujuan pendidikan nasional. Berbagai
aspek yang lain seperti, kurikulum, mata pelajaran, guru/dosen, buku-buku ajar,
sistem penilaian pelajar dan guru harus mengarah pada tujuan pendidikan nasional.
Terutama dalam bahasan ini adalah mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan
yang berkaitan langsung dengan moral/akhlak.
Menurut UU No 20 Tahun 2003, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[25]
Peradaban
bangsa yang akan dibentuk untuk mewujudkan fungsi pendidikan nasional di atas harus diawali dan dibangun
dengan fondasi utama berdasarkan agama. Hal ini disebabkan, tanda-tanda
kelahiran dan kehancuran suatu peradaban
dapat dilihat sejauh mana unsur utama (agama) dalam peradaban tersebut
terpelihara dengan baik. Sejarawan Arnold Toynbee menekankan peran agama dalam
suatu peradaban, bahwa aspek peran
dinamis agama dan spiritualitas memiliki peran penting dalam kelahiran dan
kehancuran suatu peradaban.[26]
Termasuk peradaban Indonesia dan melayu yang dikenal sebagai bangsa timur yang
religius, ramah, sopan santun, dan Islamial.
Peradaban
bangsa akan tumbuh ketika fondasi atau pribadi bangsa dibentuk berdasarkan
agama, maka ketika agama dan spiritualitas sudah tegak maka ketaqwaan[27] yang menjadi tujuan pendidikan nasional akan
terwujud. Mustahil ketaqwaan akan terwujud, jika dalam dunia pendidikan agama dinomer duakan.
Jangan sampai tujuan nasional ini hanya sekedar slogan-slogan kosong. Dalam
pendidikan saat ini, dari SD sampai SMA mata pelajaran agama hanya mendapatkan
jatah dua jam pelajaran dalam seminggu, bagaimana ketaqwaan bisa terwujud?.
Minimnya pendidikan agama dan moral adalah penyebab hilangnya moralitas dan
identitas bangsa Indonesia.
Upaya
mewujudkan pendidikan nasional dan pembangunan
peradaban dalam ajaran Al-Ghazaly
ditemukan dua tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Pertama,
kesempurnaan manusia, yang puncaknya adalah dekat kepada Allah. Kedua,
kesempatan manusia, yang puncaknya adalah kebahagiaan dunia akhirat. Sistem
pendidikan Islam secara umum mempunyai ciri khas, yakni warna religius dan
kerangka etik yang nampak jelas tanpa mengesampingkan masalah duniawi.
Demi
terciptanya keseimbangan antara ilmu agama sebagi pondasi utama ilmu dan ilmu
dunia, Al-Ghazaly membagi jenis ilmu menjadi dua, pertama ilmu yang fardhu
‘ain. Adalah ilmu agama dengan segala macamnya. Contoh, Al-Qur’an, sholat,
zakat, haji, puasa dan lain-lain. Ilmu fardhu ‘ain wajib dikuasai siswa
semenjak sekolah dasar. Aqidah siswa terbentuk dengan matang. Dan setiap
jenjang pendidikan pelajaran yang diberikan terus bertambah bukan pengulangan
dari tingkatan sebelumya. Sebelum menguasai ilmu-ilmu yang lain, ilmu fardhu
‘ain wajib dikuasai sebagai benteng untuk selalu dekat dengan Allah. Karena
tujuan akhir dari pendidikan adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Kedua, fardhu
kifayah adalah ilmu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sosial. Contoh,
kedokteran, ilmu hitung, teknologi pertanian dan lain sebagainya. Al-Ghozaly
menyatakan bahwa ilmu agama dengan segala jenisnya merupakan ilmu yang paling
utama. Ilmu fardhu kifayah dipelajari setelah ilmu fardhu ‘ain tuntas. Ilmu
kifayah sebagai ilmu dunia yang bermanfaat dalam kehidupan sosial harus
dikuasai dan ahli dalam bidangnya. Akan tetapi keahlian ilmu dunia harus di
orientasikan sebagai sarana ibadah kepada Allah.[28]
Sedangkan
Ibnu Khaldun[29]
membagi ilmu pengetahuan menjadi dua yakni ilmu naqliyah dan ilmu
aqliyah. Ilmu Naqliyah adalah yang bersumber dari al quran dan hadits yang
dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan
cabang utama. Karena informasi ilmu berdasarkan kepada otoritas syariat yang
diambil dari Al-Qur’an dan hadits. Yang termasuk ke dalam ilmu naqliyah antara
lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fikih, ilmu fikih, ilmu
kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu tafsir mimpi. Dan ilmu Ilmu-ilmu
filsafat atau rasioanal (Aqliyah) Ilmu ini bersifat alami bagi manusia yang
diperolehnya dari kemampuannya berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota
masyarakat dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban manusia di
dunia. Ibnu Khaldun membagi ilmu Aqliyah menjadi empat macam yaitu: ilmu
logika, ilmu fisika, ilmu metafisika, ilmu matematika.[30]
Dalam
hal materi pendidikan, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ilmu pengetahuan yang
dikenal manusia terdiri atas, pertama, ilmu pengetahuan yang dipelajari karena
faedah ilmu itu sendiri. Seperti ilmu agama, ilmu tafsir, fiqh atau Ilmu yang
berhubungan dengan ketuhanan. Kedua, ilmu-ilmu yang merupakan alat untuk
mempelajari ilmu golongan yang pertama yaitu ilmu bahasa Arab, ilmu hitung, dan
ilmu lainnya yang membantu mempelajari agama
serta logika yang membantu mempelajari filsafat.
Penuturan
Imam al-Ghozaly maupun Ibnu Khaldun,
bahwa setiap murid harus menguasai dulu ilmu agama, ilmu fardhu ain kemudian
fardhu kifayah. Seperti penuturan Hamka didepan, membangun suatu peradaban
harus dimulai dengan budi yang baik, yang bersumber dari ajaran Nabi Muhammad
yaitu tauhid, budi yang baik ini berasal dari agama yang disebut Imam al-Ghazaly sebagai fardhu
ain. Siswa sekarang jika berdasarkan konsep tujuan pendidikan nasional, maka
setiap siswa harus mampu sholat dengan baik, membaca al-qur’an, berakhlak
mulia, rajin sedekah, jika pendidikan fardhu ain terpenuhi. Kemudian, ketika
fardhu ain terpenuhi maka dilanjutkan
dalam pelajaran yang termasuk fardhu
kifayah sesuai dengan minat dan keahlian yang dimiliki. Sehingga terwujud
tujuan nasional dengan fardhu ain siswa
menjadi taqwa, dan dengan fardhu kifayah
terpenuhi cita-cita menjadi sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Komposisi
penguasaan ilmu-ilmu fardhu ain dan
fardhu kifayah harus diatur secara
proposional dan dinamis, sesuai kondisi dan potensi peserta didik, disemua
jenjang tingkat pendidikan.
Hasil
yang didapat ketika pendidikan hanya mengedepankan aspek fardhu kifayah maka, pendidikan tinggi telah
melahirkan profesional-profesional yang mahir pada bidang masing-masing. Akan
tetapi, kualitas ketaqwaan mereka tidak jauh berbeda dengan anak SD atau SMP.
Kualitas ketaqwaan yang tidak memadai itu, tidak berdaya mendorong dia menjadi
pemuslih. Malah kualitas ketaqwaan rendah mendorong menjadi orang yang berbuat
fasad. Semakin tinggi pendidikannya, semakin besar korupsinya yang bertopengkan
pembangunan, perubahan, dan kemajuan.[31]
Dan jika tiba di masyarakat menjadi “mati”, sebab dia bukan orang masyarakat.
Hidupnya hanya mementingkan dirinya, gelarnya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mempunyai cita-cita, lain daripada kesenangan dirinya.[32]
Untuk
merealisasikan tujuan pendidikan nasional maka mulai saat ini harus diturunkan
dan dijabarkan ke dalam buku-buku teks, ke dalam aktivitas akademik, kurikulum
universitas, juga ke dalam sistem penilaian pelajar dan guru/dosen. Secara
teknis untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, presiden bisa mengeluarkan
Keputusan Presiden tentang iman dan taqwa untuk menjabarkan secara lebih teknis
operasional program pendidikan yang menjamin terlaksananya tujuan pendidikan nasional. Atau, presiden
cukup memerintahkan kepada menteri terkait untuk menjalankan tugas, sesuai
amanah yang diberikan.[33]
Terkait pendidikan akhlak/adab pemerintah cukup meminta para ulama, cendekiawan
muslim untuk merumuskan program pembinaan akhlak/adab/moral secara lebih rinci
dan operasional. Sehingga terwujud negeri
baldatun thayyibatun wa-rabbun ghafur, negeri adil dan makmur yang
dipenuhi ridho dan ampunan ilahi.[34]
Jika hal ini tidak direalisasikan maka benar
apa yang dikatakan Budayawan Mokhtar
Lubis dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 april 1977, bahwa
salah ciri masyarakat Indonesia adalah membuat mantera dan semboyan baru, yang
digembar-gemborkan ke tengah masyarakat, namun akhirnya menjadi slogan semata.[35]
D.
Kesimpulan
Penghinaan Pancasila dan mulai dilupakannya
Pancasila menjadi masalah serius bangsa ini. Identitas bangsa akan tergadaikan
dan mudah tergeser denga ideology lain.
Masalah serius lainnya yang dihadapi
bangsa ini adalah masalah degradasi
moral generasi penerus bangsa. Moral yang merosot tajam membuat miris semua
kalangan.
Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan yang
didaulat menjadi garda terdepan dalam menanamkan ideology pancasila dan
pembenahan moral yang baik, maka perlu evaluasi mendalam terkait materi
yang diajarakan. Konsep Indoktrinasi
Pancasila pada masa Orde Baru melalui P4 dan PMP, perlu diadopsi untuk
diterapkan sekarang, akan tetapi perlu perubahan yang tidak menjadikan
Pancasila sebagai agama dan sumber moral
harus berasal dari agama.
Dalam
rangka untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan saat
ini harus menerapkan konsep Iman al-Ghozaly
dan Ibnu Khaldun. Ilmu fardhu
ainn dipenuhi dulu, kemudian dilanjut ilmu fardhu kifayah. Dan konsep tujuan
pendidikan nasional dijabarkan ke dalam dan dijabarkan ke dalam buku-buku teks,
ke dalam aktivitas akademik, kurikulum universitas, juga ke dalam sistem
penilaian pelajar dan guru/dosen.
E.
Daftar
Pustaka
Abdul
Aziz Thaba. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta:
Gema Insani Press.
Abdul
Munir Mulkan (ed). 1992. Pancasila Dasar Filsafat Negara
Prinsip-prinsip Pengembangan Kehidupan Beragama. Malang: UMM-PRESS.
Adian
Husaini. 2009. Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam.
Jakarta: Gema Insani.
___________.
2009. “Indonesia Masa Depan: Perspektif Peradaban Islam” dalam Tri Shubhi (ed),
Membangun Peradaban dengan Ilmu, Depok: Kalam Indonesia.
____________.
2011. Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab. Bogor:
Komunitas Nuun.
___________2015.
Mewujudkan Indonesia adil dan beradab, Surabaya: Bina Qolam.
Fathiyah
Hasan Sulaiman. 1986. Konsep Pendidikan Al-Ghozaly. Jakarta: PT.
Temprint.
Hamka.
1985. Lembaga Budi. Jakarta: Panji Mas.
Ibnu
Khaldun. 2014. Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khladun, (ab) Masturi
Irham (et.all), Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, cetakan ke-empat.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Buku Guru Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang
Kemendikbud, 2014, hlm. 3. (pdf).
Muhammad
Natsir. 1985. World of Islam Festival dalam Perspektif Sejarah, Jakarta:
Media Da’wah.
Sofyan Aman. 1982.(et.all). Pedoman
Didaktik Metodik Pendidikan Moral Pancasila. Jakarta: Balai Pustaka.
Yusron.
R. 2001. Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila. Jakarta: Pustaka
Panjimas.
Arsip
Resmi Pemerintah
BP-7
Pusat. 1993. Bahan Penataran: Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Bahan Penataran dan Bahan Referensi Penataran, UUD
1945, P4, GBHN, TAP-TAP MPR 1983, Pidato Pertanggungjawaban
Presiden/Mandataris. Jakarta: Menteri/Sekretaris Negara, 1986.
Internet
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, http://sindikker.dikti.go.id/dok/UU/UU20-2003-Sisdiknas.pdf,
diakses pada 9 Mei 2016.
Zaskia
Gotik menghina Lambang Negara,
https://www.youtube.com/watch?v=plg__m-f2NM,
diakses 4 April 2016, pkl.15.54.
40 Persen Mahasiswa Tidak Hafal Pancasila http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/04/06/o57gup284-40-persen-mahasiswa-tidak-hafal-pancasila, Republika online, diakses pada tanggal 7 April
2016, pkl. 9.35 WIB.
Masihkah
Kita Mengenal Pancasila?, http://www.kompasiana.com/pakcah/masihkah-kita-mengenal-pancasila
_55094b49813311785db1e143, diakses 9 Mei 2016, Pkl. 9. 47 WIB.
Salam Baju Batik Ikut Muncul Setelah Heboh
Video Seronok Salam Osis dan Salam Pramuka,
http://bogor.tribunnews.com/2016/04/12/edan-salam-baju-batik-ikut-muncul-setelah-heboh-video-seronok-salam-osis-dan-salam-pramuka,
diakses pada 10 Mei 2016, pkl. 23.24 WIB.
Duka Sonya yang Mengaku Anak Jenderal, http://news.liputan6.com/read/2478919/top-3-duka-sonya-yang-mengaku-anak-jenderal, diakses pada 10 Mei 2016, pkl. 23.28
WIB.
Sonya Depari Diangkat Jadi Duta Anti Narkoba, http://www.merdeka.com/peristiwa/sonya-depari-diangkat-jadi-duta-narkoba.html, diakses
diakses pada 10 Mei 2016, pkl. 23.34 WIB
http://digilib.upi.edu/administrator/fulltext/d_pu_049792_kohar_pradesa_chapter2(1). pdf,
diakses 22 Maret 2016, pkl.14.20 WIB.
[1] Lihat
video Zaskia Gotik menghina Lambang Negara,
https://www.youtube.com/watch?v=plg__m-f2NM,
diakses 4 April 2016, pkl.15.54.
[2] 40
Persen Mahasiswa Tidak Hafal Pancasila http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/04/06/o57gup284-40-persen-mahasiswa-tidak-hafal-pancasila, Republika online, diakses pada tanggal 7 April
2016, pkl. 9.35 WIB.
[3]
Masihkah Kita Mengenal Pancasila?, http://www.kompasiana.com/pakcah/masihkah-kita-mengenal-pancasila
_55094b49813311785db1e143, diakses 9 Mei 2016, Pkl. 9. 47 WIB.
[4] Salam
Baju Batik Ikut Muncul Setelah Heboh Video Seronok Salam Osis dan Salam
Pramuka, http://bogor.tribunnews.com/2016/04/12/edan-salam-baju-batik-ikut-muncul-setelah-heboh-video-seronok-salam-osis-dan-salam-pramuka,
diakses pada 10 Mei 2016, pkl. 23.24 WIB.
[5] Duka
Sonya yang Mengaku Anak Jenderal, http://news.liputan6.com/read/2478919/top-3-duka-sonya-yang-mengaku-anak-jenderal, diakses pada 10 Mei 2016, pkl. 23.28
WIB.
[6] Sonya
Depari Diangkat Jadi Duta Anti Narkoba, http://www.merdeka.com/peristiwa/sonya-depari-diangkat-jadi-duta-narkoba.html, diakses
diakses pada 10 Mei 2016, pkl. 23.34
WIB
[7] Sofyan
Aman, (et.all). Pedoman Didaktik Metodik Pendidikan Moral Pancasila. Jakarta:
Balai Pustaka,1982, hlm. 19.
[8] Abdul
Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), hlm. 52.
[9] http://digilib.upi.edu/administrator/fulltext/d_pu_049792_kohar_pradesa_chapter2(1). pdf,
diakses 22 Maret 2016, pkl.14.20 WIB.
[10] Abdul
Munir Mulkan (ed), Pancasila Dasar Filsafat Negara Prinsip-prinsip
Pengembangan Kehidupan Beragama. Malang: UMM-PRESS, 1992, hlm. 78.
[11]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Buku Guru Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang
Kemendikbud, 2014, hlm. 3. (pdf).
[12] Sofyan
Aman, (et.all), op,cit, hlm. 16.
[13] BP-7 Pusat, Bahan Penataran: Pedoman penghayatan dan
Pengamalan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-Garis Besar Haluan
Negara, 1993, hlm. 41.
[14] Bahan Penataran dan Bahan Referensi Penataran, UUD 1945,
P4, GBHN, TAP-TAP MPR 1983, Pidato Pertanggungjawaban Presiden/Mandataris. Jakarta:
Menteri/Sekretaris Negara, 1986, hlm. 288.
[15] Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam buku
Bahan Penataran dan Bahan Referensi Penataran, hlm. xvii-xviii.
[16] Sofyan
Aman, (et.all), op,cit, hlm. 7.
[17]
Untuk mengetahui materi yang diajarkan dalam PMP masa orde baru menurut
tingkat/ kelas mulai dari SD, SMP, dan
SMA, lihat ibid, hlm. 21-25.
[18] Adian
Husaini, Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam,
(Jakarta: Gema Insani, 2009), hlm. 110.
[19] Hamka, Lembaga
Budi, Jakarta: Panji Mas, 1985, hlm. xi.
[20] Ibid,
hlm. 9.
[21] Ibid,
hlm. xi.
[22]
Muhammad Natsir adalah salah satu tokoh nasional yang lahir pada 17 Juli 1908,
Alahan Panjang, Sumbar, yang menyatukan
Indonesia kembali ketika Indonesia berbentuk RIS yang dikenal “Mosi Integral
Natsir”. Selain itu beliau juga pernah menjabat sebagai menteri Penerangan RI,
anggota Konstituante, Perdana Menteri RI, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia, anggota Majlis A’la Al-Alamy lil Masajid, dan menjabat pada
organisasi pennting lainnya. (Muhammad Natsir, World of Islam Festival dalam
Perspektif Sejarah, Jakarta: Media Da’wah, 1985, hlm. 82.
[23] Yusron.
R, Debat Dasar Negara Islam dan
Pancasila. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001, hlm. 37.
[24] Adian
Husaini, Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam,
hlm. 110-111.
[25]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, http://sindikker.dikti.go.id/dok/UU/UU20-2003-Sisdiknas.pdf,
diakses pada 9 Mei 2016, Pkl. 11.14.
[26] Adian
Husaini, “Indonesia Masa Depan: Perspektif Peradaban Islam” dalam Tri
Shubhi (ed), Membangun Peradaban dengan Ilmu, Depok: Kalam Indonesia,
2009, hlm. 22.
[27]
Taqwa dalam tafsir Al-Azhar disebutkan memiliki arti pemeliharaan. Itulah orang
yang selalu memeliharan hubungannya
dengan Allah. Mereka selalu berusaha sehingga martabat imannya bukan menurun,
melainkan selalu mendaki kepada yang
lebih tinggi. (Hamka, Tafsir Al-Azhar
jilid 1, Jakarta: Gema Insani, 2015, hlm. 331.)
[28]
Fathiyah Hasan Sulaiman. Konsep Pendidikan Al-Ghozaly. Jakarta: PT.
Temprint. 1986, hal 20.
[29]
Ibnu Khaldun adalah ulama dan cendekiawan muslim yang lahir pada tanggal 732
H/1332 M. Ibnu Khaldun dikenal sebagai Sejarawan, bapak sosiologi Islam, ahli
politik Islam, dan bapak ekonomi Islam. Karya beliau yang terkenal adalah Kitab
Al-‘Ibar dan kitab Muqaddimah sebagai pengantar kitab ini. (Ibnu Khaldun, Al-Allamah Abdurrahman bin
Muhammad bin Khaldun, Muqaddimah Ibnu
Khladun, (ab) Masturi Irham (et.all), Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, cetakan
ke-empat, 2014, hlm. 1086-1087).
[30] Ibid,
hlm. xii-xiii.
[31] Adian
Husaini, “Indonesia Masa Depan: Perspektif Peradaban Islam”...hlm. 10.
[32]
Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab,
Bogor: Komunitas Nuun, 2011, hlm. 38.
[33]
Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia adil dan beradab, Surabaya: Bina
Qolam, 2015, hlm. 279.
[34]
Ibid, hlm. 279-280.
[35]ibid,
hlm. 39-40.
EmoticonEmoticon