Muh. Natsir Mencerahkan Indonesia

Salah satu tulisan beliau yang dimuat dalam majalah Panji Masyarakat edisi 325. Lebih jelasnya uraian Muh.Natsir silahkan baca tulisan beliau: TOLONG DENGARKAN PULA SUARA KAMI !. tulisan beliau kami ketik ulang sesuai dengan tulisan asli beliau dalam paragraf maupun lainnya beliau. (terimakasih ustadz Susiyanto atas di uploadnya tulisan Muh, Natsir, semoga tulisan-tulisan beliau yang dikoleksi di publikasikan)

Muh. Natsir: TOLONG DENGARKAN PULA SUARA KAMI

“Waspadalah terhadap orang atau golongan yang selalu mengancam dan mengejek Pendidikan Moral Pancasila disekolah-sekolah, karena pada dasarnya, orang atau golongan tersebut tidak bersedia menerima dan menghayati Pancasila sebagai sistem nilai dan ide vital dan negara nasional kita”. Begitu lagi berkata menteri Daud Yusuf di depan civitas academia Universitas Nusa Cendana di Kupang (Suara Karyam 22 September 1982).
Kata-kata yang senada itu pernah pula diucapkan beberapa waktu sebelumnya. Malah sampai mengatakan, bahwa “ Meniadakan PMP sama saja dengan meniadakan Pancasila”. (Suara Karta 10 Juli 1982).
Pancasila hendak di identikkan dengan isi buku-buku PMP yang justru sedang ditantang terang-terangan oleh umat islam itu !.
Apa maksudnya ?
Boleh dikatakan setiap waktu beliau berbicara didepann umum atau setengah-umum Menteri Pendidikan  dan  Kebudayaan kita, tak lupa mengeluarkan kata-kata yang menusuk perasaan.
Beliau tidak mau diajak bertukar pikiran dan argumentasi secara ber-tenang. Ini sudah dialami oleh Komis IX dalam DPR, di waktu membicarakan buku PMP itu juga.
Orang masih ingat bagaimana beliau telah memperlakukan almarhum Buya Hamka, selaku ketua Majelis Ulama Indonesia, yang datang ke kantor P & K untuk merunding soal-soal di bidang pendidikan, seperti soal libur puasa dll.
Sekarang, kata-katanya berisi tuduhan-tuduhan dan ancaman ter-selimu dimana-mana.
Kita tidak hendak membicarakan apa yang, rupanya, sudah menjadi semacam amalan “ritual” bagi Menteri Kebudayaan kita sekarang itu.
Kita kembali kepada persoalan Kreasi-nya, yaitu buku PMP itu sendiri.
1.                   Sebagaimana diketahui, pada tanggal 23 Agustus yang lalu beberapa orang Ulama dan Pemimpin Ormas islam bidang pendidikan telah mengunjungi gedung DPR dan menyampaikan kepada Pimpinan DPR/MPR satu petisi agar buku PMP ditinjau “secara menyeluruh dan mendesar”.
Memang semenjak 6 bulan yang lalu telah didengar kabar, bahwa buku-buku tersebut akan ditinjau oleh satu tim peninjau. Tapi kita belum kunjung dapat mengetahui  bagaimana perkembangan selanjutnya.
Yang dapat dibaca dari pihak Pemerintah ialah brosur yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Dr. Dardji Darmudihardjo, berjudul “Penjelasan ringkas Tentang Buku Pendidikan Moral Pancasila” (22 Februari 1982). Isinya justru untuk mempertahankan  buku PMP tersebut dari kritik-kritik dari masyarakat dan anggota DPR, sebelumnya.
Sekatrang tahun pelajaran yang baru sudah dimulai, sedangkan buku tersebut masih tetap dipakai dengan segala akibat-akibatnya, bagi pertumbuhan anak didik di sekolah-sekolah.
2.                   Dalam kita menunggu-nunggu bagaimana hasil usaha peninjauan Tim peninjau kembali, maka menarik perhatian sekali apa yang disiarkan oleh majalah Tempo tgl 11 September 1982, sesudahnya berlaku pertemuan para Pemimpin ormas-ormas Islam dan alim Ulama dengan Pimpinan DPR/MPR itu.
Yaitu hasil wawancara wartawan TEMPO dengan beberapa anggota Tim Peninjau buku PMP. Kabarnya sudah 216 banyaknya kata-kata dan kalimat-kalimat yang dikoreksi. 
PANJI MASYARAKAT NO.375 HLM. 20
Malajah TEMPO menamakannya “Koreksi Titik Koma ?” (pakai tanda tanya). Dan sampai sekarang tidak ada bantahan dari pihak Tim mengenai apa yang terungkap oleh majalah Tempo itu. Jadi kita dapat jadikan dasar pengulasan.
Dalam salahsatu buku PMP hal14 berbunyi: “Semua agama di Indonesia adalah baik dan suci tujuannya.”
Ini sudah bertentangan 180 derajat dengan keyakinan Ummat Islam, dan Ummat ber-Agama Samawi lainnya sekurang-kurangnya: agama islam, Katholik, Protestan. Mustahil Tim koreksi tidak mengetahui hal ini.
Yang mengherankan kenapakah Tim koreksi terlampau segan mencabut saja kalimat yang sudah terang merupakan sumber sengketa ini. justru kalimat ini sudah menjadi sebab pertentangan antara murid dengan guru, antara muris dengan ibu –bapaknya, antara guru agama dengan guru PMP, antara guru PMP yang beragama Samawi dengan dirinya sendiri.
Ini fakta dalam praktek !
Kalau tak percaya adakanlah satu riset lapangan yang ilmiah, objektif, terbuka, dengan fair play !
Sekarang Tim koreksi rupanya, ingin “memperjelas” kalimat di halaman 14 itu (TEMPO 11 September 1982 hal.14). Bunyinya jadi begini: “Semua agama di Indonesia adalah baik dan suci tujuannya, menurut agama masing-masing”.
Membaca ini kita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Manapula ada suatu agama yang tidak menganggap dirinya sendiri benar dan suci?
Yang beginikah yang dinamakan “memperjelas” itu?
Apakah dianggap perlu benar PMP ini mengajarkan kepada keturunan kita yang sedang tumbuh itu, umpamanya: “Kertas putih ini, warnamnya putih!
Kita tahu bahwa Tim tersebut terdiri dari sarjana-sarhana yang daya intelektual mereka sama sekali tidak diragukan.
Pertanyaan yang timbul dalam hati kita, dalam memonitor perkembangan di bidang pendidikan semenjak tahun 1978 sampai sekarang, ialah: Apakah yang membawa TIM tersebut sampai seperti main kucing-kucingan. Jangan lantaran masyarakat sekarang ini yang lebih suka bersikap diam daripada berbicara, dianggap cukup diberi semacam gula-bula permen karet, supaya terus tutup mulut.
3.      Satu contoh lagi: tadinya dalam ubku PMP untuk SD V hal. 13 dikatakn, bila kita melayat jenazah yang berbeda agama:
“Sebagai mahluk beragama wajib berdo’a semoga yang meninggal diampuni dan diterima Tuhan Yang Maha Esa.”
Sekarang kata “wajib” ditukar dengan “sebaiknya”.
Sayang sekali rupanya Tim tidak merasa perlu bertanya kepada orang yang tahu agama bila berbicara tentang agama.
Kita mempunya Majelis Ulama Indonesia. Silahkan (sedianya) menanyakan kepada Majelis ini sendiri – kalau tidak mau kepada yang lain – bila berjumpa dengan yang mengenai istilah agama, nanti Tim akan mendapat tahu bahwa agama Islam mempunyai satu sistem istilah-istilah hukum fiqih yang pastik untuk mengkwalifisir sesuatu perbuatan atau keadaan. Ada wajib (harus tak boleh tidak). Ada haram (terlarang), Ada sunnat (dianjurkan). Ada mubah (dibolehkan). Ada makruh (tercela).
Istilah-istilah hukum ini tidak bisa dipasang-pasangkan seenaknya saja. Sekarang istilah “wajib” mengenai mendo’akan seseorang beragama lain hendak ditukar dengan “sebaiknya”. Perkataan “sebaiknya”, menurut istilah hukum fiqih di sebut “sunnat”. Yaitu “berpahala” bila dilakukan, taka pa, bila tidak dilakukan. Tapi tetap; dianjurkan.
Padahal menurut syari’at Islam mendo’akan jenazah seorang yang berbeda agama itu, hukumnya “haram” . yaitu “terlarang” , berdosa bila dilakukan. Tidak kurang daripada itu.
Sekarang apakah kita harus menunggu koreksian selesai dikoreksi lagi?
Kita yakin, bahwa selama cara begini ini menghadapi persoalan, koreksian-koreksian seperti in itak akan selesai-selesainya. Bagi persoalannya sendiri tak akan kunjung ada penyelesaian.
Oleh karena itulah, sebagai satu-satunya jalan ke luar dari kemelut PMP ini, delegasi Alum Ulama dan pemimpin-pemimpin ormas-ormas pendidikan Islam telah mengajukan cara penyelesaian yang “tuntas”, melalui satu petisi kepada “Pimpinan DPR/MPR”, Intisarinya:
-          Buku PP ini jangan dipakai lagi di sekolah-sekolah. Diganti dengan buku pelajaran kewarga-negaraan (civic). Namakanlah “Pendidikan Kewarga-negaraan Pancasila”. Ini lebih cocok dengan materinya. Istilah “moral” mempunyai konotasi lain bagi ummat berAgama Samawi.
-          - Kosongkan sama sekali buku tersebut dari pembicaraan-pembicaraan tentang ajaran agama manapun. Jangan diteruskan menanamkan ajaran aliran kebatinan dan syncretism kepada anak-anak didik dalam mata pelajaran ini atas nama “Moral Pancasila”.
-          Soal agama adalah soal yang amat sensitive. Serahkan sajalah kepada guru-guru agama yang lebih berhak berbicara tentang agama masing-masing. Besar resikonya bila intern agama dicampuri orang luar.
4.         Dalam pertemuan delegasi dengan Pimpinan DPR/MPR diajukan juga harapan agar yang berwajib meninjau persoalan ini secara menyeluruh dan mendasar. Sebab penciptaan “Pendidikan Moral Pancasila” seperti yang kita lihat sekarang, ternyata, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri.
Di bidang pendidikan formal melalui sekolah ada buku PMP. Tetapi tidak sampai di situ saja. PMP ini nyatanya, hanya merupakan satu bahagian dari satu program yang komprehensif.
Kegiatan Direktorat Kebudayaan P & K dalam rangka pelaksanaan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) ini meliputi bidang yang lebih luas. Sudah diterbitkan untuk umum beberapa jilid buku; Seri Pembinaan Penghayatan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Ada yang berjudul: Inventarisasi, Sarasehan, Penataran P4, Perkawinan, Sumpah/Janji, Pengarahan, Sarasehan, dan lain-lain.
Ini semua diterbitkan guna pendidikan non-formal, untuk masyarakat  (PANJI MASYARAKAT NO.375 HLM. 21) di luar sekolah. Dimuali dengan mengkonsolidasi pengertian bahwa aliran-aliran kebatinan adalah Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Legitimasinya diambil dari fasal 29 UUD 1945 ayat 2. Sekarang sudah dikonsolidir sekitar 217 organisasi aliran kebatinan atas nama “Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”, bertebaran di seluruh Indonesia. Malah kepercayaan raharingan di Kalimantan, yang tadinya, dianggap animis, sekarang termasuk daftar cabang-cabang organisasi “Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”, berkantor pusat di Jakarta.
Tadinya, sepanjang pengertian resmi, Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan agama, melainkan kebudayaan. Tetapi dalam prakteknya ternyata telah diberi peluang untuk melakukan perkawinan secara sendiri.
Dinas Pemakaman DKI Jakarta sudah mencantumkan pada formulir untuk urusan jenazah: “Agama Kepercayaan”. Apa maksudnya?
5.      Dalam rangkaian lima sila dalam Pancasila tercantum dua sila yang berurutan yaitu:
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.      Kemanusiaan yang adin dan beradab.
Sekarang, sama diantara dua sial itu dihilangkan. Ditukar dengan kata-kata “berdasarkan”. Timbullah doktrin baru, yang berbunyi: “Identitas pokok dari kepercayaan adalah Ketuhanan Yang Maha Esa berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab”, (lihat buku “Identitas Kepercayaan Terhadap Tuhan TMW dalam Perkembangannya Sebagai Sumber Pembinaan budi Pekerti, yang selaras dengan Pancasila”, hal. 5),
Ini berarti: satu instansi resmi Pemerintah Pusat Republik Indonesia mempromosikan pengertian bahwa yang selaras dengan Pancasila itu ialah “Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dengan lain pertaaan: kemanusiaan yang adil dan beradablah yang menjadi dasar bagi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukan sebaliknya.
Wahyu Ilahy sebagai sumber keimanan tak ada dalam kamus literatur Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sekarang, seolah-olah Departemen P&K kita ini ingin bertindak sebagai jury, yang menentukan mana kepercayaan yang selaras dengan Pancasila, mana yang tidak!
Apakah yang “tidak selaras” nanti akan dituduh pula anti-Pancasila….?
Yang menjadi persoalan ialah: ini semua disangkutkan kepada P4. Dan P4 disangkutkan kepada Ketetapan-Ketetapan Majelis Tertinggi dalam tata-negara kita ini, (MPR), untuk memperoleh legitimasinya, Disangkutkan kepada Tap MPR No. IV/MPR/1973, Tap MPR No. II/MPR/1978, Tap MPR No. IV/ MPR/1978 dan lain-lain.
Apakah memang begitu yang dimaksud oleh Majelis Tertinggi (MPR) dalam ketatanegaraan RI, dengan P4 itu?
Pada waktu soal P4 ini akan dipututskan dengan pungutan suara dalam MPR 1978, fraksi PPP yang berasas Islam – dibawah pimpinan alm. Kiai H. Bisri – meninggalkan ruang sudang (walk out) untuk menyatakan protes dan tidak turut bertanggung jawab atas diterimanya ketetapan MPR mengenai P4 itu. Mereka berpendirian lebih baik kalah daripada mengalah dalam satu soalah yang prinsipleel.
Walaupun bagaimana orang tidak akan menyangka pada waktu itu, bahwa akan sampai begini jadinya. Pada masa revolusi dahulu, berkumandang seruang Bung Tomo di Surabaya dengan takbirnya: “Allahu Akbar”, memanggil Ummat Islam, lasykar-lasykar Hizbullah Sabielillah, untuk mempertaruhkan harta dan jiwa atas dasar jihad fie sabielillah untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Presiden Soekarno sengaja datang ke Aceh, meminta kepada Tengku daoed Beureueh supaya memaklumkan perang jihad untuk mengusir Belanda. Permintaan ini dipenuhi dengan segala baik sangka oleh Tengku Daoed Beureueh. Kapal terbang RI yang pertama untuk alat penghubung dengan luar negeri, “Seulawah” dibeli dengan sebahagian dari dana dan harta yang terkumpul atas dasar perang jihad itu.
Sekarang orang bertanya-tanya dengan berbisik:-bisik: “Betulkan kita akan dilarang pula memakai Islam sebagai asas di bidang politik? Kenapa kita perlu menyembunyikan identitas kita sebagai orang Islam”
Asas islam, Marhaenisme, Katolik, Protestan, Sosialisme dan lain-lain yang tadinya merupakan sumber tenaga, motivasi dan semangat perjuangan, semenjak memulai, sampai menyelesaikan revolusi fisik, serta menutupnya di papan catur diplomasi internasional, hingga berhasil, - apakah itu semua akan digusur saja?
Ini telah cukup menimbulkan keresahan dan keprihatinan dalam masyarakat, baik yang beragama Islam ataupun yang bukan.
Memang, menurut Tap MPR No. II/MPR/1978, P4 itu tidak merupakan tafsir baru bagi Pancasila sebagai Dasar Negara.
Tapi, perkembangan akhir-akhir ini menimbulkan pertanyaan: Apakah, menurut pemahaman Pancasila di kalangan resmi sekarang, republik Indonesia kita harus menuju kepada sistem-satu-partai? Asas satu, ciri satu, nama masih boleh berbeda, asal sesuai dengan petunjuk fihak atasan….
Apakah itu yang dimaksud dengan “Demokrasi Pancasila itu?”
Orang bertanya-tanya.
Lebih-lebih antara Pemilu II dan Pemilu III dalam Orde Baru ini seringkali timbul pertanyaan dalam hati Ummat Islam khususnya:
“Apakah ketenteraman perasaan Ummat Islam di negeri kita, masih sama-sama dianggap sebagai salah satu unsure dari apa yang disebut kepentingan Nasional itu, yang selalu disebut-sebut dalam pidato-pidato resmi di mana saja?”
Inilah yang perlu mendapat jawaban. Kalaupun tidak dengan kata-kata, - dengan perbuatan dan keadaan.
Tolong dengarkan pula suara kami!
Jakarta, 1 Oktober 1982
(PANJI MASYARAKAT NO.375 hlm 22)


BUKU KUNCI YANG MENUTUP PINTU BERPIKIR
Menyebar luasnya beberapa macam bidang studi Dalm  bentuk  buku “Evaluasi Belajar” dengan lampiran “Kunci” sampai kini masih merupakan pembicaraan di antara guru-guru. Terutana pemasaran jenis-jenis biki bersangkutan yang melewati sekolah-sekolah. Terhadap maksud ditulisnya buku-buku Evaluasi belajar beserta “Kuncinya” itu terutama dikalangan guru-guru SD pada dasarnya mereka banyak yang keberatan. SD sebagai basis pendidikan dan pengajaran yang sangat memerlukan upaya daya tangkap anak-anak menjadi berkurang nilai imajinasi mereka dalam mencari dan menyerap sesuatu persoalan akibat mereka terlalu dijejali dengan latihan-latihan yang langsung dengan jawabannya. Anak-anak tidak mau berfikir lama-lama dan inginnya serba cepat.
Sementara itu peranan buku evaluasi belajar itu sendiri, dari satu segi memang membantu guru-guru tetapi dipilihan lain, juga mengurangi tugas guru, berarti menyempitkan wawasan berpikir para guru. Seolah-olah mereka sudah diarahkan. Masalah baik dan buruk buku-buku tersebut ! dari segi guru, banyak ditentukan oleh peranan dan keterampilan masing-masing guru. Guru yang kreatif dan sadar akan peranannya sebagai pendidik tidak mau asal mengutip, tetapi guru yang sibuk dan malas, buku evaluasi dan kunci merupakan tangan kedua bagib tugas mereka.
Sebagaimana ditetapkan berdasarkan kurikulim 1975, untuk Sekolah Dasar ditetapkan delapan Studi yaitu: Agama, Pendidikan Moral Pancasila, Bahasa Indonesia, Ilmu Pnegetahuan Sosial (IPS), Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Olahraga dan Kesehatan, Kesenian dan Keterampilan. Dari delapan bidang studi tersebut empat diantaranya sudah beredar dalam bentuk buku-buku evaluasi belajar beserta kunci. Empat bidang studi tersebut adalah IPS, PMP, IPA dan Matematika.
Pada tahun enampuluhan, sudah beredar Buku “Siap Berhitung” beserta kuncinya.waktu itu pada umumnya hanya guru-guru yang memiliki, tetapi kemudian semakin meluas dan dipunyai murid-murid. Sudah banyak kesan yang timbul ketika itu dikalangan guru, sehingga guru-guru melakaukan tindakan disiplin. (Waktu itu murid-murid masih patuh) dan hasilnya baik. Dalam buku kunci Siap Berhitung ketika, ternyata banyak pula jawaban-jawan yang keliru. Hal semacam ini terjadi pula pada buku Evaluasi Belajar dengan Kunci sekarang ini. Dalam buku Evaluasi Belajar/PMP , susunan IP Rindorindo dkk untuk sekolah dasar kelas IV. Evaluasi pertama hal. 7 kita dapatkan;No 7, Maklhuk ciptaan Tuhan yang memiliki perasaan dan kemauan adalah (jawaban buku kunci: semua orang), No 6. Maklhuk ciptaan Tuhan yang meliki akal budi adalah (jawaban buku kunci: semua orang).
Apa hubungan antara pertanyaan dan jawaban ? Dalam IPA oleh penyusun yang sama, Evaluasi pertama, hal. 5 no.12. Kerbau mendinginkan badannya dengan jalan (dalam kunci jawaban: makan rumput).
Pada buku sama hal.58 no.42. Setiap orang akan menerima hukuman kalau melanggar (dalam kunci: persatuan).No.44. Orang yang tidak menuruti peraturan lalu lintas, termasuk melanggar (dalam kunci: persatuan). Ada lagi yang menarik seperti dikutip Hr.KOmpas, yaitu dalam buku “Evaluasi Belajar” PMP untuk kelas III SD yang disusun oleh Drs. Sudarmadi-Drs. Sukrisno dan kawan-kawan cetakan pertama halaman 11 (evaluasi ke III dalam kelompok pertanyaan IV, soal no.4, ditulis “Tidak sesuai dengan sila manakah kata-kata ini: “menyiksa binatang”, dalam lembar jawaban ditulis sila ke II (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab). Ini bagaimana ! Manusia turun derajatnya tau hewan ditingkatkan derajatnya, dan apa Pancasila untuk binatang?.
Kita tentu saja prihatin dengan cara pengarahan seperti itu. Beberapa ahli pendidikan anatara lain Rektor IKIP Negeri Surabaya Prof. Slamet Dajono dan Dr. A.S. Broto dari IKIP Jakarta mencemaskan peredaran buku kunci tersebut. Menurut mereka buku-buku kunci tersebut merugikan anak-anak didik. Mental anak menjadi lemah karena cenderung mencari kemudahan.-----alasan, dari pengamatan dan pembicaraan dengan beberapa guru SD di Jakarta. Rasanya penggunaan buku KUnci perlu peninjauan, paling tidak menambah tugas guru untuk memperkecil penggunaan buku kunci bagi murid-muridnya. Meskipun beberapa waktu yang lalu Menteri P dan K menyatakan tidak melarang, hanya menghimbau para penerbit, ini pun harus diartikan supaya memperkecil pemasaran buku kunci demi kemajuan anak didik kita di masa depan.
(PANJI MASYARAKAT NO.375 hlm 23)






Share this

Related Posts

Previous
Next Post »