Makalah
M.
Natsir Pionir Dakwah: Konsep Dakwah M.Natsir dalam Fiqhud Dakwah[1]
Oleh: Suhanto[2]
Pengantar
M. Natsir adalah salah seorang putra Indonesia
yang dikenal sebagai birokrat, politisi, penulis dan juga sebagai da’i ternama.
Sebagai birokrat, M. Natsir pernah
menjabat sebagai menteri penerangan dalam Kabinet Syahrir dan perdana menteri
pertama pada masa pemerintahan Soekarno. Sebagai politisi, M. Natsir telah
menduduki jabatan puncak partai Islam terbesar, yaitu Masyumi[3].
Sebagai dai ternama, kedudukan yang pernah ia capai Sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami sekaligus juga
sebagai tokoh puncak Rabithah Alam Islami, serta menjadi Ketua Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII)[4] sejak tahun 1967 sampai wafatnya tahun 1993. M. Natsir
telah menulis sekitar 45 buku atau monograf dan ratusan artikel yang memuat pandangannya tentang Islam.
Khusus dalam bidang dakwah, M. Natsir adalah
seorang yang tangguh yang mencoba menerobos melalui benteng-benteng birokrasi
dan juga wilayah-wilayah yang terpencil dengan mengirimkan tenaga dai ke
tempat-tempat tersebut. Konsep-konsep dakwah pun dicetuskan agar jalan dakwah
terarah dan dapat memberi motivasi pada generasi berikutnya untuk berkiprah
lebih tekun dalam dakwah Islam pada berbagai bidang kehidupan umat. Konsep
dakwah M.Natsir dituangkan ke dalam salah satu bukunya fiqhud dakwah yang
diberi kata sambutan Prof. K.H Abdul Kahar Muzakkar, sebagai berikut:
“ Mengingat perkembangan Dakwah Islamiyah di
tanah air kita ini, yang dipandang dari segi materiil dan teknik masih banyak
kekurangannya, maka salah satu kekurangan ini dapatlah dikurangi dengan
sumbangan yang diberikan oleh buku “Fiqud Dakwah” ini.” [5]
Buku ini sangat layak untuk menjadi panduan
mubaligh atau para dai mengemban amanah
menyebarkan ajaran Islam untuk mencapai
tujuan dakwah.
PEMBAHASAN
A.
Riwayat
Hidup
Salah satu putra terbaik dari Ranah Minang atau
Minangkabau yang memiliki peran dan prestasi dalam memperjuankan kemerdekaan Indonesia
dan dakwah agama Islam kaliber Nasional bahkan Internasional adalah Muhammad
Natsir. Putra-putra terbaik Minang yang menjadi tokoh-tokoh besar nasional
dalam bidang politik, intelektual, pendidikan, maupun keagamaan antara lain,
Imam Bonjol,Sutan Syahrir, Hamka, Muhammad Hatta, Haji Agus Salim,dan M. Natsir
Sendiri.
Muhammad Natsir adalah putra dari keluarga
sederhana, dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1908 di Kampung Jembatan Berukir,
Kenagarian Alahan Panjang, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera
Barat. Dari seorang Ibu bernama Khadijah dan Ayahnya bernama Mohammad Idris
Sutan Saripado, seorang pegawai rendah juru tulis pada kantor Kontroler di
Maninjau Alahan Panjang.[6]
Sejak awal kedua orangtuanya berharap agar putranya kelak memperoleh pendidikan
yang baik sehingga ia kelak memiliki wawasan yang luas, ini tersirat dari nama
yang diberikan kepada anaknya.[7]
M. Natsir bergelar Datuk Sinaro Panjang setelah pernikahannya dengan Nurhanar.[8]
Kebiasaan
masyarakat Minang, ketika anak sudah memasuki usia sekitar delapan tahun pada
malam hari tidur di Surau bersama kawan-kawan sebayanya seperti halnya M.Natsir
kecil. Akan menjadi bahan ejekan dan tertawaan jika umur sudah delapan tahun
masih tidur di rumah. Kebiasaan yang demikian merupakan hal membudaya yang
lebih kurang sama dengan kebiasaan merantau, bertempat tinggal di surau sebagai
rumah kedua. Sepanjang sejarah Minangkabau, surau berfungsi sebagai rantau,
yakni tempat untuk mengartikulasikan ketidaksetujuan dengan gagasan-gagasan
baru.[9]
Di surau ini M.Natsir juga melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan
intelektual belajar bersama ulama kampung.[10]
Basis spiritual yang kokoh dalam masyarakat Minang secara luas, merupakan modal
berharga bagi M.Natsir yang mempengaruhi cara pandang dan pola pikir serta kuat
dalam berpendirian di atas agama Islam. Hal tersebut diartikulasikan dalam
perlambang utama kebudayaan Minangkabau yang telah Islami, “Adat bersendi
syarak, syarak bersendi Kitabullah”[11]
M.Natsir
meniti jenjang pendidikan diawali dari sekolah di Hollands Inlandsche Scholl
(HIS) Adabiyah Padang pada tahun 1916-1923.[12]
Ia tidak bisa memasuki HIS Pemerintah karena terbentur pada realitas bahwa
orangtuanya hanyalah seorang pegawai rendahan. Kurang satu tahun M.Natsir
bersekolah di HIS Adabiyah Padang oleh ayahnya dipindahkan ke sekolah HIS
Pemerintah di Solok. Ia dapat langsung masuk OI atas pertimbangan
kepintaraanya. Disana, M. Natsir tinggal bersama keluarga Haji Musa, seorang
saudagar yang dermawan. Selain sekolah pada HIS, pada sore harinya ia belajarn
mempelajari hokum Fikih dan bahasa Arab
kepada Tuanku Mudo Amin-seorang pengikut Haji Rosul[13]-
di Madrasah Diniyah dan mengaji Al-Quran pada malam harinya. Pada tahun
1923-1927, M. Natsir memasuki jenjang sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs) serta berkenalan organisasi pelajar dan kepemudaan. Organisasi yang
di ikuti antara lain, Jong Sumatranen Bond yang diketuai Sanusi Pane, kemudian
ia masuk Jong Islamieten Bond serta aktif di Kepanduan Natipij. Dari organisasi
ini cakrawala pandangannya tentang realitas bangsanya yang diperlakukan tidak
adil oleh kolonial. [14]
Tamat
dari MULO, M.Natsir merantau ke Bandung melanjutkan ke AMS A2 (Algemene
Middelbare Scholl Westers Klasieke Afdeling)[15]
pada tahun untuk menggapai cita-citanya semenjak kecil menjadi seorang
“Mesester in de Reschten” (Mr), satu
gelar yang dipandang sangat prestisius pada kala itu.[16]
Di Bandung Natsir segera mengejar ketertinggalannya dalam penguasaan Bahasa
Belanda sebagai bahasa kaum elite terpelajar pada masa itu. Selain itu, juga
terus mendalami ilmu agama. Ada tiga guru yang mempengaruhi alam pikirannya,
yaitu pimpinan Persis, A. Hasan, Haji Agus Salim, dan pendiri al-Irsyad Islamiyah
Syeck Akhmad Syoekarti. Di Kota Kembang ini, Natsir juga mengikuti berbagai
organisasi yang memperkenalkan dengan cendekiawan dan aktivis muslim seperti
Prawoto, Haji Agus Salim, serta bergabung dalam Jong Islamieten Bond,
organisasi Syarikat Islam, dan Muhammadiyah. Lulus tahun 1930 dari AMS dengan
nilai tinggi, sebenarnya Natsir berhak mendapatkan beasiswa melanjutkan kulias
di Fakultas Hukum di Batavia, atau kuliah Ekonomi di Rotterdam.berkaitan dengan
ini, Natsir menulis:
“Tamat
AMS, sebetulnya saya dapat beasiswa untuk kuliah di fakultas hukum, tapi saya
memilih tidak melanjutkan kuliah. Saya lebih tertarik melihat
persoalan-persoalan masyarakat, persoalan politik. Jadi politik oposisi sebagai
orang jajahan itu sangat terasa. Persoalan masyarakat yang saya hadapi lebih
menarik. Dan saya merasa berdosa kalau itu saya tinggalkan. Waktu saya
mengambil keputusan untuk tidak kuliah itu banyak juga yang terkejut. Tuan
Hasan sendiri, yang dekat dengan saya kaget.”[17]
Kepedulian
M. Natsir pada problematika umat Islam ketika itu memahamkannya bahwa masalah
penting umat saat itu adalah kebodohan sebgaian umat Islam terhadap agamanya
sendiri. Untuk itu M.Natsir mulai merintis pendidikannya sendiri yang diberi
nama “ Pendidikan Islam” (Pendis). Terobosan lain yang dilakukannya, mengajar
agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschoool (Sekolah Guru).[18]
Yang menarik, M.Natsir mengajar agama menggunakan Bahasa Belanda, dan menyusun
buku teks pelajaran agama berbahasa Belanda juga. Buku tersebut berjudul Komt
tot Gebeid ( Marilah Sholat). Dengan cara itu, nampaknya M. Natsir membuat
citra bahwa agama tidak identik dengan keterbalakangan. Sebab ketika itu,
Bahasa Belandalah lambang kemajuan dan komedernan.[19]
Natsir
banyak bergaul dengan pemikir-pemikir Islam, seperti Agus Salim; selama
pertengahan 1930-an, ia dan Salim terus bertukar pikiran tentang hubungan Islam
dan negara demi masa depan pemerintahan Indonesia yang dipimpin Soekarno. Pada
tahun 1938, ia bergabung dengan Partai Islam Indonesia, dan diangkat sebagai
pimpinan untuk cabang Bandung dari
tahun 1940 sampai 1942. Ia juga bekerja sebagai Kepala Biro Pendidikan
Bandung sampai tahun 1945. Selama pendudukan Jepang, ia bergabung dengan Majelis Islam A'la Indonesia
(lalu berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau
Masyumi), dan diangkat sebagai salah satu ketua dari tahun 1945 sampai ketika
Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan
oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia
menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat.
Sebelum menjadiperdana menteri, ia
menjabat sebagai menteri penerangan. Pada tanggal 3 April 1950, ia
mengajukan Mosi Integral Natsir dalam
sidang pleno parlemen. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia yang mendorong semua pihak untuk berjuang
dengan tertib, merasa terbantu denga adanya mosi ini. Mosi ini memulihkan
keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
sebelumnya berbentuk serikat, sehingga ia diangkat menjadiperdana menteri oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950. Namun ia mengundurkan diri dari
jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena perselisihan paham dengan Soekarno,
Soekarno yang menganut paham nasionalismemengkritik
Islam sebagai ideologi seraya
memuji sekularisasi yang
dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Kesultanan Utsmaniyah, sedangkan Natsir menyayangkan hancurnya
Kesultanan Utsmaniyah dengan menunjukkan akibat-akibat negatif sekularisasi.
Natsir juga mengkritik Soekarno bahwa
dia kurang memperhatikan kesejahteraan di luar Pulau Jawa.
Menurut Hatta,
sebelum pengunduran diri Natsir, Soekarno selaku presiden sekaligus ketua Partai Nasionalis Indonesia (PNI)
terus mendesak Manai Sophiaan serta para menteri dan anggota parlemen dari PNI
untuk menjatuhkanKabinet Natsir, dan
tidak mendukung kebijakan-kebijakan yang diusulkan oleh Natsir dan Hatta.
Selama era demokrasi terpimpin di
Indonesia, ia terlibat dalam pertentangan terhadap pemerintah yang semakin
otoriter dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia setelah
meninggalkan Pulau Jawa; PRRI
yang menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas disalahtafsirkan oleh
Soekarno sebagai pemberontakan. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan
di Malang dari
tahun 1962 sampai 1964, dan dibebaskan pada masa Orde Baru pada
tanggal 26 Juli 1966.
Setelah dibebaskan dari penjara, Natsir kembali
terlibat dalam organisasi-organisasi Islam, seperti Majelis Ta'sisi Rabitah
Alam Islami dan Majelis Ala al-Alami lil Masjid yang berpusat di Mekkah, Pusat
Studi Islam Oxford (Oxford Centre for Islamic Studies) di Inggris, dan
Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) di Karachi, Pakistan.
Di era Orde Baru, ia
membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ia juga mengkritikisi
kebijakan pemerintah, seperti ketika ia menandatangani Petisi 50 pada
5 Mei 1980, yang menyebabkan ia dilarang pergi ke luar negeri. Pada
masa-masa awal Orde Baru ini, ia berjasa mengirim nota kepada Tunku Abdul Rahman dalam
rangka mencairkan hubungan dengan Malaysia. Selain
itu pula, dialah yang mengontak pemerintah Kuwait agar
menanam modal di Indonesiadan
meyakinkan pemerintah Jepang tentang
kesungguhan Orde Baru membangun ekonomi. Soeharto menganggap
orang yang mengkritik dirinya sebagai penentang Pancasila. Ia ikut
menandatangani Petisi tersebut bersama dengan Jenderal Hoegeng, Letjen Ali Sadikin, Sanusi Hardjadinata, SK Trimurti, dan
lain-lain. Akibat dilarangnya ia pergi ke luar negeri, banyak seminar yang
tidak bisa diikutinya. Natsir menolak kecurigaan Soeharto terhadap partai-partai,
terutama partai Islam. Apalagi Opsus (Operasi Khusus) yang berada di bawah
pimpinan langsung Soeharto juga ikut dikritisi. Padahal, badan intel inilah
yang meminta Natsir dalam memulai hubungan dengan Malaysia dan Timur Tengah setelah
naiknya Soeharto. Ia meninggal pada 6
Februari 1993 di Jakarta, dan dimakamkan sehari
kemudian.[20]
Karya-Karya M. Natsir:
a. Islam
Sebagai Ideology
b. Islam
Dan Akal Merdeka
c. Islam
Dan Kristen Di Indonesia
d. Asas
Keyakinan Agama Kami
e. Mempersatukan
Umat Islam
f. Dunia
Islam Dari Masa Ke Masa
g. Tauhid
Untuk Persaudaraan Islam Universal
h. Fiqhud
Dakwah
i.
Dakwah Dan Pembangunan
j.
Mencari Modus Vivendi Antara Umat Beragama Di
Indonesia
k. Buku PMP
Dan Mutiara Hilang
l.
Indonesia Di Persimpangan Jalan
m. Islam
Sebagai Dasar Negara
n. Tempatkan
Kembali Pancasila Pada Kedudukannya Yang
Konstitusional
o. Dll
Penghargaan
Dunia Islam mengakui Mohammad Natsir sebagai pahlawan yang
melintasi batas bangsa dan negara. Bruce Lawrence menyebutkan bahwa Natsir
merupakan politisi yang paling menonjol mendukung pembaruan Islam. Pada tahun 1957, ia menerima bintang Nichan
Istikhar (Grand Gordon) dari
Raja Tunisia, Lamine Beyatas jasanya membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Penghargaan internasional
lainnya yaitu Jaa-izatul Malik
Faisal al-Alamiyah pada tahun
1980, dan penghargaan dari beberapa ulama dan pemikir terkenal seperti Syekh
Abul Hasan Ali an-Nadwi dan Abul A'la Maududi.
Pada tahun 1980, Natsir dianugerahi penghargaan Faisal Award dari Raja Fahd Arab Saudi melalui Yayasan Raja Faisal di Riyadh, Arab Saudi. Ia juga memperoleh gelar doktor kehormatan di bidang politik Islam dari Universitas Islam Libanon
pada tahun 1967. Pada tahun 1991, ia memperoleh dua gelar kehormatan, yaitu
dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains Malaysia. Pemerintah Indonesia baru menghormatinya setelah 15 tahun
kematiannya, pada 10 November 2008 Natsir dinyatakan sebagai pahlawan nasional Indonesia.Soeharto enggan memberikan gelar pahlawan
kepada salah satu "bapak bangsa" ini. Pada masa B.J. Habibie, dia diberi penghargaan Bintang Republik Indonesia
Adipradana.
Reporter Ramadhian Fadillah melaporkan bahwasanya ia tokoh
sederhana sepanjang zaman. Ia juga melaporkan bahwa Natsir "tak punya baju
bagus, jasnya bertambal. Dia dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan
menolak diberi hadiah mobil mewah."George McTurnan Kahin -pengajar di Universitas Cornell- mendapat info dari Agus Salim bahwa ada staf dari Kementerian Penerangan yang hendak mengumpulkan uang untuk Natsir supaya berpakaian
lebih layak. Apalagi, kemejanya cuma dua setel dan sudah butut pula. Sewaktu dia mundur sebagai
Perdana Menteri pada Maret 1951, sekretarisnya -Maria Ulfa, menyerahkan padanya
sisa dana taktis dengan banyak saldo yang sebenarnya juga hak perdana menteri. Natsir menolak, dan
dana itu dilimpahkan ke koperasi karyawan tanpa sepeser dia ambil. Natsir
dikatakan menolak mobil Chevrolet Impala. Padahal, di rumahnya dia hanya
memiliki mobil tua, De Soto yang dia beli sendiri untuk mengantar-jemput
anak-anaknya. Sebelum dia pindah
ke Jalan Jawa, dia berpindah ke Jalan Pegangsaan Timur yang ada di Jakarta.
Maka, dikarenakannya ia ikut dalam Permesta, dia masuk penjara satu ke penjara
lain selama 1960-66, dan keluarganya kehilangan rumah di Jalan Jawa dan Mobil
De Soto tersebut. Hartanya diambil pemerintah.[21]
B.
Konsep
Dasar M. Natsir
1.
Wajib Dakwah
“ Dan
Hendaklah ada diantara kamu, satu golongan yang mengajak (manusia) kepada
bakti, dan menyuruh (mereka berbuat) kebaikan, dan melarang (mereka) dari
kejahatan; maka mereka itu adalah orang-orang yang jaya”. (QS. Al-Imron:104)
“ Kamu
adalah sebaik-baik Ummat, dilahirkan untuk (kemaslahatan) manusia, kamu
mengajak kepada kebaikan, dan kamu mencegah dari kemungkaran, serta kamu beriman kepada Allah”. (QS.
Al-Imron:110)
“Sampaikanlah apa yang (kamu terima) dari
padaku, walaupun satu ayat”.
“Barang
siapa diantara kamu melihat sesuatu kemungkaran, maka hendaklah dia mencegahnya
dengan tangannya (dengan kekuatan atau kekerasan), jika ia tidak sanggup
demikian (lantaran tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan) maka dengan
lidahnya, (teguran dan nasehat dengan lisan atau tulisan), jika (pun) tidak
sanggup demikian (lantaran serba lemah) maka dengan hatinya, dan yang ini
adalah iman yang paling lemah”. (H.R Muslim).
Dan
bagaimana pula satu masyarakat, akan selamat, bila para anggautanya sama-sama bungkem,
bersikap masa bodoh, bila melihat sesama anggota masyarakat melakukan
kemungkaran. Juga tiap-tiap bibit kemungkaran mempunyai daya geraknya sendiri.
Diwaktu masih kecil dia ibarat sebutir bara yang tidak sukar mematikannya. Akan
tetapi bila dibiarkan besar, dia membakar apa yang ada di sekelilingnya payah
akan memadamkannya. [22]
“Islam
adalah agama risalah, untuk manusia keseluruhan. Ummat Islam adalah pendukung
amanah, untuk meneruskan risalah dengan dakwah;baik sebagai ummat kepada umat
yang lain, ataupun selaku perseorangan ditempat manapun mereka berada, menurut
kemampuan masing-masing.” [23]
Ayat-ayat dan dalil diatas menjadi pedoman M.Natsir
dalam berdakwah. Al-Quran dan Hadits selalu menjadi rujukan utama untuk
meyebarkan Islam sesuai dengan apa yang dicontohkan Rosulullah. Allah
memerintahkan kepada umatnya yang berilmu untuk mengajak kebaikan dan meninggal
kejahatan serta beriman hanya kepada Allah. Ayat-ayat diatas menjadi landasan
M. Natsir dalam berdakwah untuk menyerukan agama Islam, sebagai sebaik-baik
umat dalam mengajak kemasalahatan umat. Setiap manusia wajib berdakwah kepada
sesama walaupun satu ayat yang dihafal, yang di amalkan untuk membumikan ajaran
Islam. Untuk mengembangkan ladang dakwah yang masih banyak belum tersentuh Islam
M.Natsir memperluas pengertian dakwah dari pengertian hanya sebagai “tabligh”
kepada pengertian yang mencangkup seluruh aspek kehidupan masyarakat sebagai
kelanjutan risalah Nabi Muhammad SAW.[24]
2. Pengertian Dakwah
Siapakah
yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?"(Q.S.Fushshilat:33)
Dan
tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang
besar. (Q.S. Fushshilat:34-35)
Dan jika
syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada
Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Q.S.Fushshilat:36)
Empat
ayat diatas merupakan pembukaan dalam buku Fiqhud Dakwah yang tanpa diberi
komentar sedikitpun. Sebagai kerangka landasan konsepsional terhadap
permasalahan dakwah Islam yang akan dihadapi. Menggambarkan bagaimana M.Natsir
menjadikan dakwah sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, menjadi
hamba yang menyeru di jalan Allah, menghadapi setiap tantangan, permusuhan
bahkan kejahatan dakwah harus ditolak dengan cara yang lebih baik justru
bukan membalas kejahatan dengan
kejahatan. Dan kunci dalam berdakwah adalah sabar dalam menghadapi setiap ujian
dan selalu mohon pertolongan dan perlindungan kepada Allah.
Pengertian
dakwah menurut M.Natsir yang disampaikan memang banyak perbedaan redaksi, akan
tetapi makna yang ditanamkan sama. Islam adalah agama dakwah, Islam tidak
memusuhi, tidak menindas unsur-unsur fitrah manusia. Islam mengakui adanya hak dan wujudnya jasad,
nafsu, aqal, dan rasa, dengan fungsinya masing-masing. Islam memanggil pancaindra,
menggugah akal dan kalbu, menyambung jangkuan untuk menyambung hal-hal yang
tidak tercapai oleh mereka sendiri. Sehingga manusia tidak lagi meraba-raba
kesana-kesini dan terus salah meraba mencari Tuhannya, seperti yang tersebut
dalam cerita lelucon sedih (tragedycomic) tentang nasib lima orang buta yang
meraba-raba dengan tangan untuk mengetahui bagaimana gerangan bentuk gajah.[25]
Dakwah dalam arti amar ma’ruf nahi munkar
adalah syarat muthlak bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat. Ini
merupakan kewajiban fitrah manusia sebagai makhluk sosial (makhluk ijtima’i)
dan kewajiban yang ditegaskan oleh Risalah Kitabullah dan Sunnah Rasul.[26]
Bila seorang mubaligh diibaratkan dengan seorang petani, maka bidangnya ialah
menabur bibit, mengolah tanah, member pupuk dan air, menjaga supaya bibit itu
cukup mendapat udara dan seminar matahari, melindungi daru hama, dan lain-lain.[27]
Untuk itu, ia harus mengetahui cara bercocok tanam, tahu jenis dan sifat benih
yang akan ditebarkan, bagaimana keadaan tanah, tempat pesemaian, keadaan iklim
dan pertukaran musim, apa pantangan-pantangan yang harus dihindarkan, apa macam
hama yang suka mengganggu tanaman dan bagaimana memberantasnya.[28]
Tugas petani hanya menebar benih, adapun menumbuhkan bibit menjadi benih yang
hidup adalah kuasa sang Kholiq, diluar kemampuan dan bidang usaha yang petani.
Begitu juga dengan hidayah yang mencetuskan sinar iman, karena semata karena
karunia langsung dari Allah s.w.t
letaknya diluar jangkauan seorang pemaksa atas mereka.[29]
Pengertian
dakwah seperti ini mempunyai pemahaman yang mendalam, yaitu bahwa menyampaikan
dakwah amar ma’ruf nahi munkar itu tidak
sekedar asal menyampaikan saja, melainkan memerlukan beberapa syarat, yaitu
mencari materi yang cocok, mengetahui keadaan subjek dakwah secara tepat,
memilih metode yang representative, menggunakan bahasa yang bijaksana. Tidak
kalah penting dari semuanya itu adalah bagaimana memupuk atau menyambung
silaturahmi untuk menyebarluaskan dakwah tersebut agar dapat menjangkau dan
berdaya guna bagi masyarakat serta mendapat hasil sebagaimana yang diharapkan.
M.
Natsir mengelaborasi pengertian dakwah Islam, lebih pada soal teknis
penyampaian pesan dakwah Islam. Kegagalannya melakukan dakwah Islam di panggung
politik menjadi pengalaman bagi dirinya untuk menjadi lebih jeli terhadap
masalah teknis penyampaian dakwah Islam yang semula kurang diperhitungkan.[30]M.Natsir
menulis artikel lepas yang berjudul “ Kalimat Hak Lebih Tajam dari Pedang”
mengatakan:
“Kewajiban para dai, mubaligh, dan ulama tidak
sekedar memberikan fatwa atau memberi vonis bahwa komunis itu haram. Tidak usah
kita yang mengatakan, orang awam pun mengatakan komunis itu jahat. Kewajiban
umat Islam adalah mengemukakan alternatif dalam menghadapi sistem komunis itu,
mengemukakan alternatif yang baik untuk
menghadapi sistem komunis itu, mengemukakan alternatif yang baik untuk
menghadapi yang buruk.[31]
Menyampaikan
dakwah Islam tidak harus menghukumi dengan label haram, kafir, munafik, dan
sebagainya, tetapi dengan perkataan simpatik yang menawarkan atau menyejukkan
hati maasyarakat dengan memberi mereka pilihan-pilihan yang lebih baik. Hal
tersebut akan lebih relevan dengan arti kata dakwah yang mengandung konotasi
memanggil atau mengundang, karena posisi subjek dakwah adalah tamu yang haris
dihormati oleh dai sebagai pelaku tuan rumahnya. Oleh karena itu, dakwah Islam
yang sifatnya penyampaian itu menyudutkan atau mengafirkan para objek dakwah
sebagai tamu adalah sikjap tidak etis, tidak perlu dimasyarakatkan. Selain itu, akhlak karimah dalam menyampaikan
dakwah adalah hal yang sangat penting untuk mencapai tujuan dakwah. Dakwah
tidak hanya cukup dengan diucapkan dengan lidah akan tetapi dipraktekkan dengan
amal, memberi contoh di tengah-tengah umat dengan etika berdakwah yang baik dan
akhlakul karimah. Seperti yang di ucapkan M. Natsir ketika diwawancarai oleh
Afif Amrullah mengatakan:
“Dakwah
tidak hanya diucapkan dengan lidah saja tapi juga diciptakan dengan amal.
Sebenarnya yang dimaksud dengan bi al-hal itu: bi al-lisani al-hal,
bi al-lisani al-a’mal, bi al-lisani al-akhlakul karimah”.[32]
3. Tujuan dakwah menurut M. Natsir
M.
Natsir menulis dakwah dan tujuannya pada serial Media Dakwah . Dalam
tulisannya memberikan beberapa ulasan tentang dakwah, terutama tujuaanya.
Menurut M. Natsir tujuan dakwah adalah:
1.
Memanggil kita kepada syariat, untuk memecahkan persoalan hidup, baik
persoalan hidup perseorangan atau persoalan hidup perseorangan atau persoalan
berumah tangga, berjamaah-bermasyarakat, berbangsa-bersuku bangsa, bernegara,
berantarnegara.
2. memanggil kita kepada fungsi
hidup kita sebagai hamba Allah di atas dunia yang terbentang luas ini,
berisikan manusia berbagai jenis, bermacam pola pendirian dan kepercayaannya,
yakni fungsi sebagai syuhada ‘ala an-nas, menjadi pelopor dan pengawas
bagi umat manusia.
3. Memanggil kita kepada tujuan
hidup kita yang hakiki, yakni menyembah Allah. Demikianlah, kita hidup
mempunyai fungsi tujuan yang tertentu.[33]
Pertama, tujuan
dakwah adalah untuk memanggil manusia kepada syariat dan hukum-hukum Allah agar
dapat mengatur dirinya dengan agama. M. Natsir memandang agama bukan hanya
sekedar kepercayaan saja, tetapi di dalamnya terdapat multisystem untuk
mengatur kehidupan manusia, baik hubungan Allah maupun dengan manusia. Tujuan
pertama menitik beratkan pada pada konsep Islam mengatur kehidupan manusia
dan terapi dari berbagai problem hidup
yang dialami oleh manusia.
Kedua, tujuan dakwah adalah mempertegas fungsi hidup
manusia sebagai hamba Allah di muka bumi, yaitu mengabdi kepada Allah. Menyembah kepada
Allah berarti memusatkan penyembahan kepada Allah SWT baik yang berupa ibadah
maupun yang muamalah, semuanya dilaksanakan dalam rangka persembahan kepada
Allah untuk menggapai ridho-Nya.
Ketiga, tujuan dakwah adalah memanggil manusia untuk
kembali kepada tujuan hidup, yaitu mencari keridhoan Ilahi. M. Natsir
berpendapat bahwa tujuan hidup yang sebenarnya adalah mencapai keridhoan ilahi.
Sebagaimana dikatakannya:
“ Tujuan
hakiki adalah keridhaan Ilahi. Keridhaan Ilahi yang memungkinkan tercapainya
‘hidup yang sebenarnya hidup’ yang lebih tinggi mutunya dari hidup
manusia;hidup immaterial sebagai kelanjutan dari hidup “materiil”, hidup yang
ukhrawi, yang puncak kebahagiannya terletak dalam pertemuan dengan Khaliq Azza
wa Jalla. Itulah menyembah sebagai tujuan hidup.”[34]
Panggilan
dakwah pada posisi ini diarahkan agar masyarakat sebagai objek dakwah dapat
mengetahui secara tepat akan tujuan hidup yang sebenarnya. Salah satu faktor
penting untuk mempercepat tercapainya dakwah adalah keteladanan pribadi dai.[35]Dai
tidak saja dituntut memiliki kemampuan handal menyampaikan pesan dakwah, akan
tetapi mampu mengamalkan nilai-nilai pesan dakwah bagi dirinya sendiri dan
keluarganya karena menjadi sorotan masyarakat.
4.
Mubaligh dalam pandangan M..Natsir
Mubaligh atau dai sering disebut juga pembawa
dakwah menurut M.Natsir orang yang membawakan dakwah dengan tujuan membina
pribadi dan membangun umat sehingga pribadi dan umat itu berkembang maju sesuai
dengan hidup manusia yang diridhoi Kholiqnya.[36]
Menurut M. Natsir tugas mubaligh adalah inzar bil-Quran peringatan dengan
Al-Quran, apa yang terkandung dalam Al-Quran dan dengan cara-cara yang
ditunjuki dalam Al-Quran (Al-Quran wa bi thariqhatihi).[37]
Dalam tulisan yang lain, tugas seorang mubaligh adalah balagh. Balagh
berarti menyampaikan dengan sempurna Balaghul mubin berarti menyampaikan
dengan keterangan yang jelas sedemikian rupa, sehingga dapat diterima akal dan
dapat ditangkap oleh hati, dapat pula dicerna kedua-duanya. Balagh bukan
hanya sekedar mengumpulkan banyak orang, lalu berpidato di muka mereka.[38]
Dalam mengemban tugas dakwah M.Natsir hendaknya mengikuti cara-cara Rosulullah
sehingga hasilnya mendekati sukses seperti yang diraih Rosulullah. Namun sangat
perlu modifikasi kembali, karena kondisi dan keadaan yang ada pada zaman Nabi
sudah sangat berbeda dengan kondisi yang dihadapi para mubalig dewasa ini. Para
mubaligh dituntut memiliki kepekaan sosial yang tinggi untuk membaca dan
menganalisis setiap perkembangan yang terjadi di masyarakat, karena hal ini
penting bagi para mubaligh itu sendiri ketika terjun ke lapangan dalam
melaksanakan tugasnya sebagai mubaligh.
Keberhasilan dakwah Islam sangat ditentukan
oleh keberhasilan para mubaligh dalam melaksanakan tugas sebagai pelanjut
risalah Islam. M.Natsir menyebutkan ada tiga persiapan mubaligh sebelum
berdakwah, yaitu persiapan mental, persiapan ilmiyah, persiapan Kaifiat (cara)
dan adab dakwah.[39] Pertama
pembinaan mental, menyangkut ketenangan batin, stabilitas emosi, dan
kemampuan mengendalikan diri dalam melaksanakan tugas.[40]Dalam
praktek dakwah di lapangan mubaligh menghadapi orang banyak, orang banyak itu
pun menghadapinya dengan berbagai cara dan gaya. Apalagi ketika ada konfrontasi
maka pengalaman-pengalaman pahit akan dirasakannya. Maka untuk melakukan
tugasnya secara kontinu, seorang
mubaligh harus mampu memelihara ketenangan dan keseimbangan jiwa, dan sanggup
pula memulihkan keseimbangan itu, bila mana terganggu ditengah-tengah aksi dan
reaksi timbal balik. Persiapan ekonomi
dalam dakwah memiliki peranan penting, karena menyangkut biaya hidup
sehari-hari bagi mubaligh dan keluarganya. Mubaligh idealnya memiliki pekerjaan
yang menghasilkan uang dan nilai tambah materi lain untuk kehidupannya.
Bukannya Mubaligh menjadikan dakwah sebagai profesi mata pencaharian untuk
membiayai kehidupannya. Kekayaan ekonomi bukanlah faktor pokok, ada kekayaan
yang lebih utama dari kekayaan materi, yaitu kekayaan jiwa dan harga diri. M.
Natsir menulis dalam bukunya:
“Seorang
pembawa risalah boleh miskin, tidak mempunyai harta atau kekuasaan duniawi. Tetapi ada satu kekayaan yang tidak
boleh tanggal dari dirinya yaitu: pelupuk matanya dan kepalanya yang tegak,
jiwa yang bebas dari tekanan rasa berhutang budi yang menimbulkan rasa
kecil yang melumpuhkan daya panggilnya.”[41]
Kedua persiapan ilmiyah,
mubaligh harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan ilmu teknologi. Umat Islam,
sebagai pendukung dari suatu aqidah, syariah, dan sistem hidup, sama sekali
tidak dapat dan tidak boleh mengisolasi diri dari kesimpang-siuran bermacam
aliran faham, kepercayaan-kepercayaan dan sistem-sistem lainnya, dari masa
kemasa. Mubaligh akan selalu dikonfrontasikan oleh, dan selalu harus
mengkonfrontasikan diri, terhadap, pelbagai faham dari luar, disamping dia
menghadapi perkembangan-perkembangan dalam lingkungan umat Islam sendiri. Dan
bagi mubaligh tidak ada batas dimana ia harus berhenti memperlengkap ilmu-ilmu
alat dan mempertinggi mutu tekhniknya. Kalau mubaligh ini tidak mau ketinggalan
dan tercecer oleh juru dakwah dari agama-agama lain, dan aliran-aliran faham
lain.[42]
Ketiga kafiat dan adab dakwah, persiapan
yang berhubungan dengan etika berdakwah, apakah itu pribadi mubaligh maupun
menyangkut mubaligh dengan masyarakat. M.Natsir mengutip tulisan Muhammad Abduh
dalam Tafsir Al-Manar, membagi kaifat dan adab dalam berdakwah menjadi tiga:
a. ada
golongan cerdik-cendekiawan yang suka kebenaran, dan dapat berfikir secara
kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka ini harus dipanggil dengan
“hikmah”, yakni dengan alasan-alasan, dengan dalil dan hujjah yang dapat
diterima oleh kekuatan akal mereka.[43]
Yang dimaksud hikmah menurut Muhammad Abduh,”Adapun hikmah adalah memahamkan
rahasia dan faedah tiap-tiap sesuatu” ditempat lain Muhammad Abduh
menulis,”Hikmah adalah ilmu yang shahih
(benar dan sehat) yang menggerakkan kemauan untuk melakukan sesuatu perbuatan
yang bermnafaat (berguna)….”[44]
b. Ada
golongan awam, orang yang kebanyakan yang belum dapat berfikir secara kritis
dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi-tinggi.
mereka ini dipanggil dengan “mauidzatun-hasanah”, dengan anjuran dan didikan,
yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah faham.
c. Ada
golongan yang tingkat kecerdesaannya diantara kedua golongan tersebut, belum
dapat dicapai dengan “hikmah”, akan tetapi tidak akan sesuai pula, bila
disamakan dengan golongan awam;mereka membahas sesuatu, tetapi hanya dalam
batas yang tertentu, tidak sanggup mendalam benar.[45]
Kesimpulan
dari tiga cara membawakan dakwah, sesuai yang dijelaskan dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan Muslim: “Kami diperintah, supaya berbicara kepada manusia
menurut kadar aqal (kecerdasan) mereka masing-masing.” (H.R. Muslim).
KESIMPULAN
M.
Natsir berdakwah berlandaskan Al-Qur’an dan as-Sunnah dan mencontoh cara
Rosulullah menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Mekkah dan Madinah. Salah
satu ayat yang menjadi landasan dakwah M.Natsir, “ Dan Hendaklah ada diantara
kamu, satu golongan yang mengajak (manusia) kepada bakti, dan menyuruh (mereka
berbuat) kebaikan, dan melarang (mereka) dari kejahatan; maka mereka itu adalah
orang-orang yang jaya”. (QS. Al-Imron:104).
Natsir
menggagas Konsep dakwah Islam bukan sekedar menyampaikan ajaran Islam, tetapi
diciptakan dengan bi lisani al-amal. Maksudnya, bi lisani al-hal, bi lisani
al-amal, dan bi lisani al –akhlaq karimah. Dengan demikian, dakwah Islam dalam
pandangan M.Natsir adalah amar ma’ruf nahi munkar, di dalamnya mengandung tiga
unsur utama, yaitu perbuatan lisan,
aktualisasi ajaran dengan karya nyata, dan kepribadian terpuji sebagai
sokogurunya.
Keberhasilan
dakwah Islam sangat ditentukan oleh keberhasilan para mubaligh dalam
melaksanakan tugas sebagai pelanjut risalah Islam. M.Natsir menyebutkan ada
tiga persiapan mubaligh sebelum berdakwah, yaitu persiapan mental, persiapan
ilmiyah, persiapan Kaifiat (cara) dan adab dakwah.
Daftar Pustaka
Harjono
Anwar, Indonesia Kita Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Jakarta: Gema Insani
Press, 1995
Husaini,
Adian, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, Jakarta:
Komunitas Nuun, 2011.
Luth,
Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Natsir,
Muhammad, Fiqhud Da’wah, Solo: Ramadhani, 1989.
Natsir,
Muhammad, World of Islam Festival dalam Perspektif Sejarah, Jakarta Pusat:
Media dakwah, 1976.
Prasetya,
Johan, Ajaran-Ajaran para Founding Father dan Orang-Orang di Sekitarnya,
Jogjakarta: PALAPA, 2014.
Waluyo,
Dari “Pemberontak” Menjadi Pahlawan Nasional Muhammad Natsir dan Perjuangan
Politik di Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2009.
https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir, di
akses, 26 Januari 2016, Pkl. 21.45 WIB.
[1] Makalah
ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Tokoh Dakwah, dosen pengampu Muhammad Muslih
[2] Adalah
Mahasiswa Magister Non Gelar Jurusan Pendidikan dan Pemikiran Mahad Aly Al-Ghozaly
[3]
Masyumi di bentuk pada tanggal 17 November 1945 melalui Kongres Nasional Umat
Islam di Yogykarta, di bentuk Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan
Sukiman sebagai ketuanya. Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya,
Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hlm. 56
[4]
DDII didirikan pada tanggal 26 Februari 1967 di Masjid al-Munawarah dan berkantor disana. Pada tanggal 1980 pindah ke
Masjid al-Furqon, jalan Kramat Jaya 45, sampai sekarang. Dengan tujuan
menggiatkan dan meningkatkan dakwah Islamiyah. (Harjono Anwar, Indonesia Kita
Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hlm.
198-199). DDII bukan gerakan politik, tapi sebagai sarana politik lewat dakwah
. (Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani Press,
1999, hlm. 21.)
[5]
Natsir, Muhammad, Fiqhud Da’wah, Solo: Ramadhani, 1989, hlm.XIV.
[6]
Waluyo, Dari “Pemberontak” Menjadi Pahlawan Nasional Muhammad Natsir dan
Perjuangan Politik di Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2009, hlm. 14
[7]
Natsir berasal dari kata Natsara yang berarti penulis kalam atau bertaburan.
Harapan agar hidupnya kelak dapat mengabdikan diri pada bangsa dan agamanya
sebagai seorang penulis yang bertaburan hasil karya dan jasanya. Ibid, hlm,
15.
[8]
Pengangkatan gelar pusaka ini diberikan kepada M,Natsir setelah ia kawin dengan
Nurhanar pada tanggal 20 Oktober 1934. Ini merupakan adat Minangkabau bahwa
gelar tersebut diberikan kepada yang berhak menerimanya secara turun-temurun
setelah yang bersangkutan melangsungkan perkawinan, walauoun tidak selamanya demikian.
Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 21.
[9]
Waluyo, Dari “Pemberontak”, op.cit, hlm. 15
[10]
Prasetya, Johan, Ajaran-Ajaran para Founding Father dan Orang-Orang di
Sekitarnya, Jogjakarta: PALAPA, 2014, hlm. 185.
[11]
Op.cit, hlm. 16
[12]
Sekolah ini didirikan oleh H. Abdullah Ahmad pada tanggal 23 Agustus 1915
dengan isi dan bentuk lain dari HIS
Belanda. Sekolah ini mengajarkan semangat nasionalissme dan terbuka bagi semua
golongan masyarakat termasuk petani, pedagang, dan buruh kecil. Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan
Pemikirannya, op.cit, hlm. 22.
[13]
Haji Rosul seorang tokoh pembaharu yang memperkenalkan Muhammadiyah di Sumatera
Barat dan tahun1918 mendirikan Sekolah Sumatra Thowalib.
[14]Waluyo,
Dari “Pemberontak”, op.cit, hlm. 18
[15]
Natsir, Muhammad, World of Islam Festival dalam Perspektif Sejarah, Jakarta
Pusat: Media dakwah, 1976, hlm. 63
[16]
Husaini, Adian, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab,
Jakarta: Komunitas Nuun, 2011, hlm. 133.
[17]
Ibid, hlm. 135.
[18]
Waluyo, Dari “Pemberontak”, op.cit, hlm.24
[19]
Husaini, Adian, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab,
hlm. 138
[20] https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir,
di akses, 26 Januari 2016, Pkl. 21.45 WIB.
[22] Natsir,
Muhammad, Fiqhud Da’wah, hlm. 110
[23] Ibid.,
[24]
Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 56
[25]
Natsir, Muhammad, Fiqhud Da’wah, , hlm. 25-26
[26]Ibid.,hlm.109.
[27]
Ibid, hlm. 132.
[28]
Ibid, hlm. 148.
[29]
Ibid, hlm. 132.
[30]
Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 67.
[31]
Ibid.,hlm 67.
[32]
Op.Cit, hlm. 68.
[33]
Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 70.
[34]
Natsir, Muhammad, Fiqhud Da’wah, hlm. 25.
[35]
Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 72.
[36]
Opcit., hlm 148.
[37]
Ibid.,hlm. 132.
[38]
Luth, Thohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 74.
[39]
Natsir, Muhammad, Fiqhud Da’wah, hlm. 133.
[40]
Opcit., hlm. 76.
[41]
Natsir, Muhammad, Fiqhud Da’wah, hlm. 144
[42]
Ibid., hlm. 157.
[43]
Ibid., hlm. 162.
[44]
Ibid., hlm. 164.
[45]
Ibid., hlm. 162.