Muh. Natsir Mencerahkan Indonesia
Muh. Natsir: TOLONG
DENGARKAN PULA SUARA KAMI
“Waspadalah terhadap orang atau
golongan yang selalu mengancam dan mengejek Pendidikan Moral Pancasila
disekolah-sekolah, karena pada dasarnya, orang atau golongan tersebut tidak
bersedia menerima dan menghayati Pancasila sebagai sistem nilai dan ide vital
dan negara nasional kita”. Begitu lagi berkata menteri Daud Yusuf di depan
civitas academia Universitas Nusa Cendana di Kupang (Suara Karyam 22 September
1982).
Kata-kata yang senada itu pernah
pula diucapkan beberapa waktu sebelumnya. Malah sampai mengatakan, bahwa “
Meniadakan PMP sama saja dengan meniadakan Pancasila”. (Suara Karta 10 Juli
1982).
Pancasila hendak di identikkan
dengan isi buku-buku PMP yang justru sedang ditantang terang-terangan oleh umat
islam itu !.
Apa maksudnya ?
Boleh dikatakan setiap waktu beliau
berbicara didepann umum atau setengah-umum Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan kita, tak lupa mengeluarkan kata-kata yang menusuk perasaan.
Beliau tidak mau
diajak bertukar pikiran dan argumentasi secara ber-tenang. Ini sudah dialami
oleh Komis IX dalam DPR, di waktu membicarakan buku PMP itu juga.
Orang masih ingat bagaimana beliau
telah memperlakukan almarhum Buya Hamka, selaku ketua Majelis Ulama Indonesia,
yang datang ke kantor P & K untuk merunding soal-soal di bidang pendidikan,
seperti soal libur puasa dll.
Sekarang, kata-katanya berisi
tuduhan-tuduhan dan ancaman ter-selimu dimana-mana.
Kita tidak hendak membicarakan apa
yang, rupanya, sudah menjadi semacam amalan “ritual” bagi Menteri Kebudayaan
kita sekarang itu.
Kita kembali kepada persoalan Kreasi-nya,
yaitu buku PMP itu sendiri.
1.
Sebagaimana diketahui, pada
tanggal 23 Agustus yang lalu beberapa orang Ulama dan Pemimpin Ormas islam
bidang pendidikan telah mengunjungi gedung DPR dan menyampaikan kepada Pimpinan
DPR/MPR satu petisi agar buku PMP ditinjau “secara menyeluruh dan mendesar”.
Memang semenjak
6 bulan yang lalu telah didengar kabar, bahwa buku-buku tersebut akan ditinjau
oleh satu tim peninjau. Tapi kita belum kunjung dapat mengetahui bagaimana perkembangan selanjutnya.
Yang dapat
dibaca dari pihak Pemerintah ialah brosur yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Dr. Dardji Darmudihardjo, berjudul
“Penjelasan ringkas Tentang Buku Pendidikan Moral Pancasila” (22 Februari
1982). Isinya justru untuk mempertahankan buku PMP tersebut dari kritik-kritik dari
masyarakat dan anggota DPR, sebelumnya.
Sekatrang tahun
pelajaran yang baru sudah dimulai, sedangkan buku tersebut masih tetap dipakai
dengan segala akibat-akibatnya, bagi pertumbuhan anak didik di sekolah-sekolah.
2.
Dalam kita menunggu-nunggu
bagaimana hasil usaha peninjauan Tim peninjau kembali, maka menarik perhatian
sekali apa yang disiarkan oleh majalah Tempo tgl 11 September 1982, sesudahnya
berlaku pertemuan para Pemimpin ormas-ormas Islam dan alim Ulama dengan
Pimpinan DPR/MPR itu.
Yaitu hasil
wawancara wartawan TEMPO dengan beberapa anggota Tim Peninjau buku PMP.
Kabarnya sudah 216 banyaknya kata-kata dan kalimat-kalimat yang dikoreksi.
PANJI MASYARAKAT NO.375 HLM. 20
Malajah TEMPO menamakannya “Koreksi Titik Koma ?” (pakai
tanda tanya). Dan sampai sekarang tidak ada bantahan dari pihak Tim mengenai
apa yang terungkap oleh majalah Tempo itu. Jadi kita dapat jadikan dasar
pengulasan.
Dalam salahsatu buku PMP hal14 berbunyi: “Semua agama di
Indonesia adalah baik dan suci tujuannya.”
Ini sudah bertentangan 180 derajat dengan keyakinan Ummat
Islam, dan Ummat ber-Agama Samawi lainnya sekurang-kurangnya: agama islam,
Katholik, Protestan. Mustahil Tim koreksi tidak mengetahui hal ini.
Yang mengherankan kenapakah Tim koreksi terlampau segan
mencabut saja kalimat yang sudah terang merupakan sumber sengketa ini. justru
kalimat ini sudah menjadi sebab pertentangan antara murid dengan guru, antara
muris dengan ibu –bapaknya, antara guru agama dengan guru PMP, antara guru PMP
yang beragama Samawi dengan dirinya sendiri.
Ini fakta dalam praktek !
Kalau tak percaya adakanlah satu riset lapangan yang
ilmiah, objektif, terbuka, dengan fair play !
Sekarang Tim koreksi rupanya, ingin “memperjelas” kalimat
di halaman 14 itu (TEMPO 11 September 1982 hal.14). Bunyinya jadi begini:
“Semua agama di Indonesia adalah baik dan suci tujuannya, menurut agama
masing-masing”.
Membaca ini kita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Manapula ada suatu agama yang tidak menganggap dirinya
sendiri benar dan suci?
Yang beginikah yang dinamakan “memperjelas” itu?
Apakah dianggap perlu benar PMP ini mengajarkan kepada
keturunan kita yang sedang tumbuh itu, umpamanya: “Kertas putih ini,
warnamnya putih!
Kita tahu bahwa Tim tersebut terdiri dari sarjana-sarhana
yang daya intelektual mereka sama sekali tidak diragukan.
Pertanyaan yang timbul dalam hati kita, dalam memonitor
perkembangan di bidang pendidikan semenjak tahun 1978 sampai sekarang, ialah:
Apakah yang membawa TIM tersebut sampai seperti main kucing-kucingan. Jangan
lantaran masyarakat sekarang ini yang lebih suka bersikap diam daripada
berbicara, dianggap cukup diberi semacam gula-bula permen karet, supaya terus
tutup mulut.
3.
Satu contoh lagi: tadinya
dalam ubku PMP untuk SD V hal. 13 dikatakn, bila kita melayat jenazah yang
berbeda agama:
“Sebagai mahluk beragama wajib berdo’a semoga yang
meninggal diampuni dan diterima Tuhan Yang Maha Esa.”
Sekarang kata “wajib” ditukar dengan “sebaiknya”.
Sayang sekali rupanya Tim tidak merasa perlu bertanya
kepada orang yang tahu agama bila berbicara tentang agama.
Kita mempunya Majelis Ulama Indonesia. Silahkan (sedianya)
menanyakan kepada Majelis ini sendiri – kalau tidak mau kepada yang lain – bila
berjumpa dengan yang mengenai istilah agama, nanti Tim akan mendapat tahu bahwa
agama Islam mempunyai satu sistem istilah-istilah hukum fiqih yang pastik untuk
mengkwalifisir sesuatu perbuatan atau keadaan. Ada wajib (harus tak
boleh tidak). Ada haram (terlarang), Ada sunnat (dianjurkan). Ada
mubah (dibolehkan). Ada makruh (tercela).
Istilah-istilah hukum ini tidak bisa dipasang-pasangkan
seenaknya saja. Sekarang istilah “wajib” mengenai mendo’akan seseorang
beragama lain hendak ditukar dengan “sebaiknya”. Perkataan “sebaiknya”,
menurut istilah hukum fiqih di sebut “sunnat”. Yaitu “berpahala” bila
dilakukan, taka pa, bila tidak dilakukan. Tapi tetap; dianjurkan.
Padahal menurut syari’at Islam mendo’akan jenazah seorang
yang berbeda agama itu, hukumnya “haram” . yaitu “terlarang” ,
berdosa bila dilakukan. Tidak kurang daripada itu.
Sekarang apakah kita harus menunggu koreksian selesai
dikoreksi lagi?
Kita yakin, bahwa selama cara begini ini menghadapi
persoalan, koreksian-koreksian seperti in itak akan selesai-selesainya. Bagi persoalannya
sendiri tak akan kunjung ada penyelesaian.
Oleh karena itulah, sebagai satu-satunya jalan ke luar
dari kemelut PMP ini, delegasi Alum Ulama dan pemimpin-pemimpin ormas-ormas
pendidikan Islam telah mengajukan cara penyelesaian yang “tuntas”, melalui satu
petisi kepada “Pimpinan DPR/MPR”, Intisarinya:
-
Buku PP ini jangan dipakai
lagi di sekolah-sekolah. Diganti dengan buku pelajaran kewarga-negaraan
(civic). Namakanlah “Pendidikan Kewarga-negaraan Pancasila”. Ini lebih cocok
dengan materinya. Istilah “moral” mempunyai konotasi lain bagi ummat berAgama
Samawi.
-
- Kosongkan sama sekali
buku tersebut dari pembicaraan-pembicaraan tentang ajaran agama manapun. Jangan
diteruskan menanamkan ajaran aliran kebatinan dan syncretism kepada anak-anak
didik dalam mata pelajaran ini atas nama “Moral Pancasila”.
-
Soal agama adalah soal yang
amat sensitive. Serahkan sajalah kepada guru-guru agama yang lebih berhak
berbicara tentang agama masing-masing. Besar resikonya bila intern agama
dicampuri orang luar.
4.
Dalam pertemuan delegasi
dengan Pimpinan DPR/MPR diajukan juga harapan agar yang berwajib meninjau
persoalan ini secara menyeluruh dan mendasar. Sebab penciptaan
“Pendidikan Moral Pancasila” seperti yang kita lihat sekarang, ternyata,
bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri.
Di bidang
pendidikan formal melalui sekolah ada buku PMP. Tetapi tidak sampai di situ
saja. PMP ini nyatanya, hanya merupakan satu bahagian dari satu program yang
komprehensif.
Kegiatan
Direktorat Kebudayaan P & K dalam rangka pelaksanaan Pedoman Penghayatan
Pengamalan Pancasila (P4) ini meliputi bidang yang lebih luas. Sudah
diterbitkan untuk umum beberapa jilid buku; Seri Pembinaan Penghayatan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa”. Ada yang berjudul: Inventarisasi, Sarasehan, Penataran
P4, Perkawinan, Sumpah/Janji, Pengarahan, Sarasehan, dan lain-lain.
Ini semua
diterbitkan guna pendidikan non-formal, untuk masyarakat
(PANJI MASYARAKAT NO.375 HLM. 21)
di luar sekolah. Dimuali dengan mengkonsolidasi pengertian bahwa aliran-aliran
kebatinan adalah Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Legitimasinya
diambil dari fasal 29 UUD 1945 ayat 2. Sekarang sudah dikonsolidir sekitar 217
organisasi aliran kebatinan atas nama “Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa”, bertebaran di seluruh Indonesia. Malah kepercayaan raharingan
di Kalimantan, yang tadinya, dianggap animis, sekarang termasuk daftar
cabang-cabang organisasi “Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”,
berkantor pusat di Jakarta.
Tadinya,
sepanjang pengertian resmi, Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan
agama, melainkan kebudayaan. Tetapi dalam prakteknya ternyata telah diberi peluang untuk melakukan
perkawinan secara sendiri.
Dinas Pemakaman DKI Jakarta sudah
mencantumkan pada formulir untuk urusan jenazah: “Agama Kepercayaan”. Apa
maksudnya?
5. Dalam rangkaian lima
sila dalam Pancasila tercantum dua sila yang berurutan yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha
Esa,
2. Kemanusiaan yang adin
dan beradab.
Sekarang, sama
diantara dua sial itu dihilangkan. Ditukar dengan kata-kata “berdasarkan”. Timbullah doktrin baru, yang berbunyi: “Identitas pokok dari kepercayaan adalah Ketuhanan Yang Maha Esa
berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab”, (lihat buku “Identitas Kepercayaan Terhadap Tuhan TMW dalam
Perkembangannya Sebagai Sumber Pembinaan budi Pekerti, yang selaras dengan Pancasila”, hal. 5),
Ini berarti: satu
instansi resmi Pemerintah Pusat Republik Indonesia mempromosikan pengertian
bahwa yang selaras dengan Pancasila itu ialah “Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berdasarkan
kemanusiaan yang adil dan
beradab”. Dengan lain pertaaan: kemanusiaan
yang adil dan beradablah yang
menjadi dasar bagi kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Bukan sebaliknya.
Wahyu Ilahy sebagai sumber keimanan tak ada dalam kamus
literatur Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sekarang,
seolah-olah Departemen P&K kita ini ingin bertindak sebagai jury, yang
menentukan mana kepercayaan yang selaras dengan Pancasila, mana yang tidak!
Apakah yang “tidak
selaras” nanti akan dituduh pula anti-Pancasila….?
Yang menjadi
persoalan ialah: ini semua disangkutkan kepada P4. Dan P4 disangkutkan kepada
Ketetapan-Ketetapan Majelis Tertinggi dalam tata-negara kita ini, (MPR), untuk
memperoleh legitimasinya, Disangkutkan kepada Tap MPR No. IV/MPR/1973, Tap MPR
No. II/MPR/1978, Tap MPR No. IV/ MPR/1978 dan lain-lain.
Apakah memang
begitu yang dimaksud oleh Majelis Tertinggi (MPR) dalam ketatanegaraan RI,
dengan P4 itu?
Pada waktu soal P4
ini akan dipututskan dengan pungutan suara dalam MPR 1978, fraksi PPP yang berasas Islam – dibawah pimpinan alm. Kiai H. Bisri – meninggalkan ruang sudang (walk
out) untuk menyatakan protes dan tidak turut bertanggung jawab atas diterimanya
ketetapan MPR mengenai P4 itu. Mereka berpendirian lebih baik kalah daripada mengalah dalam satu soalah yang prinsipleel.
Walaupun bagaimana
orang tidak akan menyangka pada waktu itu, bahwa akan sampai begini jadinya.
Pada masa revolusi dahulu, berkumandang seruang Bung Tomo di Surabaya dengan
takbirnya: “Allahu Akbar”, memanggil Ummat Islam, lasykar-lasykar Hizbullah
Sabielillah, untuk mempertaruhkan harta dan jiwa atas dasar jihad fie sabielillah untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia. Presiden Soekarno sengaja datang ke Aceh, meminta kepada Tengku
daoed Beureueh supaya memaklumkan perang
jihad untuk mengusir Belanda.
Permintaan ini dipenuhi dengan segala baik sangka oleh Tengku Daoed Beureueh.
Kapal terbang RI yang pertama untuk alat penghubung dengan luar negeri,
“Seulawah” dibeli dengan sebahagian dari dana dan harta yang terkumpul atas
dasar perang jihad itu.
Sekarang orang
bertanya-tanya dengan berbisik:-bisik: “Betulkan kita akan dilarang pula
memakai Islam sebagai asas di bidang politik? Kenapa kita perlu menyembunyikan
identitas kita sebagai orang Islam”
Asas islam,
Marhaenisme, Katolik, Protestan, Sosialisme dan lain-lain yang tadinya
merupakan sumber tenaga, motivasi dan semangat perjuangan, semenjak
memulai, sampai menyelesaikan revolusi fisik, serta menutupnya di papan catur
diplomasi internasional, hingga berhasil, - apakah itu semua akan digusur saja?
Ini telah cukup
menimbulkan keresahan dan keprihatinan dalam masyarakat, baik yang beragama
Islam ataupun yang bukan.
Memang, menurut
Tap MPR No. II/MPR/1978, P4 itu tidak merupakan tafsir baru bagi Pancasila
sebagai Dasar Negara.
Tapi, perkembangan
akhir-akhir ini menimbulkan pertanyaan: Apakah, menurut pemahaman Pancasila di
kalangan resmi sekarang, republik Indonesia kita harus menuju kepada sistem-satu-partai? Asas satu, ciri satu, nama masih boleh berbeda, asal sesuai dengan petunjuk fihak atasan….
Apakah itu yang
dimaksud dengan “Demokrasi
Pancasila itu?”
Orang
bertanya-tanya.
Lebih-lebih antara
Pemilu II dan Pemilu III dalam Orde Baru ini seringkali timbul pertanyaan dalam
hati Ummat Islam khususnya:
“Apakah
ketenteraman perasaan Ummat Islam di negeri kita, masih sama-sama dianggap
sebagai salah satu unsure dari apa yang disebut kepentingan Nasional itu,
yang selalu disebut-sebut dalam pidato-pidato resmi di mana saja?”
Inilah yang perlu
mendapat jawaban. Kalaupun tidak dengan kata-kata, - dengan perbuatan dan
keadaan.
Tolong dengarkan pula suara kami!
Jakarta, 1 Oktober 1982
(PANJI MASYARAKAT NO.375 hlm 22)
BUKU KUNCI YANG
MENUTUP PINTU BERPIKIR
Menyebar luasnya beberapa macam bidang studi
Dalm bentuk buku “Evaluasi Belajar” dengan lampiran
“Kunci” sampai kini masih merupakan pembicaraan di antara guru-guru. Terutana
pemasaran jenis-jenis biki bersangkutan yang melewati sekolah-sekolah. Terhadap
maksud ditulisnya buku-buku Evaluasi belajar beserta “Kuncinya” itu terutama
dikalangan guru-guru SD pada dasarnya mereka banyak yang keberatan. SD sebagai
basis pendidikan dan pengajaran yang sangat memerlukan upaya daya tangkap
anak-anak menjadi berkurang nilai imajinasi mereka dalam mencari dan menyerap
sesuatu persoalan akibat mereka terlalu dijejali dengan latihan-latihan yang
langsung dengan jawabannya. Anak-anak tidak mau berfikir lama-lama dan inginnya
serba cepat.
Sementara itu peranan buku evaluasi belajar
itu sendiri, dari satu segi memang membantu guru-guru tetapi dipilihan lain, juga
mengurangi tugas guru, berarti menyempitkan wawasan berpikir para guru.
Seolah-olah mereka sudah diarahkan. Masalah baik dan buruk buku-buku tersebut !
dari segi guru, banyak ditentukan oleh peranan dan keterampilan masing-masing
guru. Guru yang kreatif dan sadar akan peranannya sebagai pendidik tidak mau
asal mengutip, tetapi guru yang sibuk dan malas, buku evaluasi dan kunci
merupakan tangan kedua bagib tugas mereka.
Sebagaimana ditetapkan berdasarkan kurikulim
1975, untuk Sekolah Dasar ditetapkan delapan Studi yaitu: Agama, Pendidikan
Moral Pancasila, Bahasa Indonesia, Ilmu Pnegetahuan Sosial (IPS), Matematika,
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Olahraga dan Kesehatan, Kesenian dan Keterampilan.
Dari delapan bidang studi tersebut empat diantaranya sudah beredar dalam bentuk
buku-buku evaluasi belajar beserta kunci. Empat bidang studi tersebut adalah
IPS, PMP, IPA dan Matematika.
Pada tahun enampuluhan, sudah beredar Buku
“Siap Berhitung” beserta kuncinya.waktu itu pada umumnya hanya guru-guru yang
memiliki, tetapi kemudian semakin meluas dan dipunyai murid-murid. Sudah banyak
kesan yang timbul ketika itu dikalangan guru, sehingga guru-guru melakaukan
tindakan disiplin. (Waktu itu murid-murid masih patuh) dan hasilnya baik. Dalam
buku kunci Siap Berhitung ketika, ternyata banyak pula jawaban-jawan yang
keliru. Hal semacam ini terjadi pula pada buku Evaluasi Belajar dengan Kunci
sekarang ini. Dalam buku Evaluasi
Belajar/PMP , susunan
IP Rindorindo dkk untuk sekolah dasar kelas IV. Evaluasi pertama hal. 7 kita
dapatkan;No 7, Maklhuk ciptaan Tuhan yang memiliki perasaan dan kemauan adalah
(jawaban buku kunci: semua orang), No 6. Maklhuk ciptaan Tuhan yang meliki
akal budi adalah (jawaban buku kunci: semua orang).
Apa hubungan antara pertanyaan
dan jawaban ? Dalam IPA oleh penyusun yang sama, Evaluasi pertama, hal. 5
no.12. Kerbau mendinginkan badannya dengan jalan (dalam kunci jawaban: makan rumput).
Pada buku sama hal.58 no.42. Setiap orang
akan menerima hukuman kalau melanggar (dalam kunci: persatuan).No.44. Orang
yang tidak menuruti peraturan lalu lintas, termasuk melanggar (dalam kunci: persatuan). Ada lagi yang menarik seperti dikutip
Hr.KOmpas, yaitu dalam buku “Evaluasi Belajar” PMP untuk kelas III SD yang
disusun oleh Drs. Sudarmadi-Drs. Sukrisno dan kawan-kawan cetakan pertama
halaman 11 (evaluasi ke III dalam kelompok pertanyaan IV, soal no.4, ditulis
“Tidak sesuai dengan sila manakah kata-kata ini: “menyiksa binatang”, dalam
lembar jawaban ditulis sila ke II (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab). Ini
bagaimana ! Manusia turun derajatnya tau hewan ditingkatkan derajatnya, dan apa
Pancasila untuk binatang?.
Kita tentu saja
prihatin dengan cara pengarahan seperti itu. Beberapa ahli pendidikan anatara
lain Rektor IKIP Negeri Surabaya Prof. Slamet Dajono dan Dr. A.S. Broto dari
IKIP Jakarta mencemaskan peredaran buku kunci tersebut. Menurut mereka
buku-buku kunci tersebut merugikan anak-anak didik. Mental anak menjadi lemah
karena cenderung mencari kemudahan.-----alasan, dari pengamatan dan pembicaraan
dengan beberapa guru SD di Jakarta. Rasanya penggunaan buku KUnci perlu
peninjauan, paling tidak menambah tugas guru untuk memperkecil penggunaan buku
kunci bagi murid-muridnya. Meskipun beberapa waktu yang lalu Menteri P dan K
menyatakan tidak melarang, hanya menghimbau para penerbit, ini pun harus
diartikan supaya memperkecil pemasaran buku kunci demi kemajuan anak didik kita
di masa depan.
(PANJI MASYARAKAT NO.375 hlm 23)